Senin, 20 Mei 2013
Beginikah UN yang katanya alat ukur?
"Sulit Paaakk...!!!" teriak beberapa anak didik saya dengat raut muka stres setelah mengerjakan Ujian Nasional SD/MI 2013 Mata Pelajaran IPA. Percaya tak percaya, saya sudah mempersiapkan seluruh materi Ujian Nasional sesuai dengan SKL yang dikeluarkan pemerintah. Bahkan secara rinci mereka sudah hafal diluar kepala berbagai macam materi yang saya berikan dan cara menganalisisnya.
Selidik punya selidik ternyata luar biasa. Dahsyat..!! unpredictable test. Apa yang terjadi? Apa saking hebatnya pembuat soal atau saya yang terlalu bodoh mempersiapkan strategi memecahkan soal?. Entahlah. Dari 40 soal, kurang lebih ada 21 soal sangat sulit ukuran anak SD/MI. Alamaaak...
Ternyata saya tak sendiri. Beberapa guru IPA dari sekolah lainpun mengeluhkan hal yang sama. Sesuatu yang sedikit melegakan. Setidaknya bukan hanya anak saya yang mengalami kesulitan mengerjakan soal.
Sebenarnya apa yang membuat anak saya sulit mengerjakan soal? Sedangkan mereka benar-benar menguasai materi 100%. Menurut saya ada beberapa hal yang membuat mereka pusing tujuh keliling.
Pertama, tingkat alur berfikir yang terlalu panjang. Contoh soal nomor 1, 2, 4, 5 dan 35 yang cara pengerjaannya membuthkan 8 - 12 proses berfikir. Wuiiihhh...
Cotoh soal no 2
2. Perhatikan Tabel !
No Hewan Ciri khusus Fungsi
1 Kucing Bantalan kaki meredam suara langkah
2 Belalang Sembah Bau menyengat melindungi diri
3 Landak Bulu duri melindungi diri
4 Kalajengking Mempunyai bisa membunuh mangsa
Pasangan yang benar antara hewan, ciri khusus dan fungsinya ditunjukkan nomor...
A. 2 dan 4
B. 2 dan 3
C. 1 dan 3
D. 1 dan 2
Jujur bila dilakukan secara lisan, siswa saya mampu mepresentasikan kekempat hewan tersebut secara jelas, gamblang dan panjang plus dengan cerita pengalaman pengamatan mereka sendiri tentang ciri umum, ciri khusus dan fungsinya masing-masing ciri. Dan bahkan 10 jenis hewan lagipun mereka mampu. namun untuk menjawab soal diatas mereka dibuat bingung. Apa itu fungsi Ujian Nasional? Entahlah.
Kedua, beberapa soal berhasil menjebak siswa. Contoh soal nomor 3, 4,10, 11 dan 37 yang jawabannya benar-benar seakan-akan benar semua. Pengetahuan yang mudah dan sudah dipahami siswa menjadi salah jawab gara-gara cara bertanya yang dibuat ruwet. Hebat..!!
Sama dengan soal nomor 2, soal nomor 4 tak kalah hebat.
4. Perhatikan tabel !
Hewan Bagian Hewan Manfaat
1. Ayam p. tenaga t. membajak sawah
2. Sapi q. bulu u. obat gatal-gatal
3. kambing r. kulit v. membuat bio gas
4. ular s. kotoran w. membuat kok
Pasangan bagian hewan dan manfaatnya yang benar adalah ....
A. 1 - q - w
B. 2 - r - t
C. 3 - s - v
D. 4 - r - u
Jujur bila siswa saya, saya suruh membuat paper (makalah) dengan judul pemanfaatan bagian hewan diatas mereka sanggup menulis minimal 5 lembar tanpa harus melihat buku literatur sekalipun dalam waktu kurang dari 2 jam. Thoh, setiap hari mereka mengamati hewan-hewan tersebut. Namun entah mengapa ketika pengetahuan mereka diukur dengan tes yang bernama Ujian Nasional mereka jadi salah jawab? salah alat ukurnya ataukan salah pengetahuan anaknya? Entahlah.
Ketiga, ada soal yang menurut saya kurang tepat diksinya sehingga sulit difahami siswa seusia anak SD/MI yakni soal no 37. Soal ini bahkan menurut saya tidak ada jawabannya.
37. Rotasi bumi mengakibatkan ....
A. Pertandingan sepakbola di Inggris dimulai 7 jam lebih cepat dibandingkan WIB
B. Pertandingan sepakbola di Amerika dimulai 7 jam lebih cepat dibandingkan WIB
C. Pertandingan sepakbola di Brazil dimulai 7 jam lebih lambat dibandingkan WIT
D. Pertandingan sepakbola di Malaysia dimulai 7 jam lebih lambat dibandingkan WIB
Jujur sayapun tidak mampu menjawabnya, terpaksa saya harus tanya dengan beberapa teman dan brosing di internet. menurut http://www.timeanddate.fasterreader.eu/pages/id/official-time-at-the-dest-id.html saya temukan jawaban sebagai berikut :
Jawaban
A. Salah, karena Ingggris 6 jam lebih LAMBAT dari WIB
B. Salah, karena Amerika 18 jam lebih LAMBAT dari WIB (Bahkan di bagian negara Amerikanya sendiri punya perbedaan waktu)
C. Salah, karena Brazil 11 jam lebih LAMBAT dari WIT.
D. Salah, karena Malaysia 1 jam lebih cepat dari WIB.
Bahkan secara guyon saya berceloteh "lebih cepat? apa sepakbola disana dan disini bapalan? Ha.. Ha.. Ha..." kata yang tepat mungkin lebih "awal" masuk waktu tertentu. Walau sebenarnya saya faham maksudnya.
Lantas apa jawaban yang sebenarnya? benar-benar soal yang aneh. Tidak sedikitpun cocok sebagai alat ukur. setidaknya menurut saya pribadi.
Dan saya tidak yakin siswa SMP atau SMA pun bisa mengerjakan soal-soal diatas dengan benar. Yakinlah.
Hal besar yang menjadi pertanyaan saya adalah apakah ini benar-benar Ujian Nasional yang di agung-agungkan dan menjadi alat ukur penentu kelulusan?? sangat tidak masuk akal.
Saya mengambil kesimpulan sederhana : "Ujian Nasional tidak merepresentasi kemampuan Siswa" bila tidak mau menggunakan kata "Ujian Nasional membodohkan." Titik.
(hd)
Senin, 29 April 2013
UN dan Pendidikan Finlandia
BERBICARA pendidikan, kita akan dihadapkan pada karakternya sebagai katalis kemajuan sebuah bangsa. Contoh terdekatnya adalah Jepang. Pada 1945, dalam perang dunia kedua, Amerika dan sekutunya meluluhlantakkan Nagasaki dan Hiroshima yang notabene merupakan dua kota vital bagi Jepang. Pascakehancuran itu, hal pertama yang ditanyakan Sang Kaisar adalah, “Berapa jumlah guru yang tersisa?” Sang Kaisar paham, kejayaan dan kemajuan Jepang hanya bisa dikembalikan melalui jalur pendidikan. Praktis, hasilnya dapat kita lihat hari ini, Jepang menjadi salah satu kekuatan teknologi dan ekonomi dunia. Lain Jepang lain Malaysia, negeri yang dulu pernah menjadi murid dan berguru pada Indonesia, kini perlahan tapi pasti mulai jauh meninggalkan Indonesia, dan kuncinya sama: pendidikan.
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana sebenarnya sistem pendidikan yang baik? Untuk menjawab hal itu kita bisa mengacu pada hasil survei Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Pada 2003, organisasi yang berpusat di Perancis itu merilis daftar negara dengan sistem pendidikan terbaik. Hasil riset yang menilai kemampuan membaca, matematika dan ilmu pengetahuan pada siswa usia 15 tahun ini menetapkan Finlandia sebagai peringkat pertama. Finlandia meraih nilai terbaik. Bahkan mengalahkan Amerika yang notabene penuh dengan institusi pendidikan bergengsi.
Keberhasilan sistem dan output pendidikan Finlandia didasari beberapa hal. Pertama, anak-anak Finlandia belum boleh sekolah sebelum berumur tujuh tahun. Hal ini dikarenakan sebelum usia tersebut masih waktunya anak-anak bermain dan mengasah kreativitas. Selain itu, hal tersebut juga untuk memastikan bahwa anak-anak sudah siap menerima pengajaran.
Kedua, selama enam tahun pertama pendidikannya, anak-anak Finlandia sama sekali tidak diukur atau dites kemampuannya. Ketiga, hanya ada satu tes standar wajib di Finlandia, yang diambil ketika anak-anak berusia 16 tahun. Keempat, semua guru di Finlandia harus memiliki gelar master, yang sepenuhnya disubsidi.
Pemaparan di atas jelas menelanjangi kebobrokan ujian nasional (UN). Pertama, UN menyamaratakan kemampuan siswa dan berfokus pada aspek kognitif (pengetahuan intelektual). Sementara, harus disadari bahwa setiap siswa memiliki minat dan bakat yang berbeda.
Kedua, UN dilaksanakan dengan standar yang sama, sementara infrastruktur pendidikan di Indonesia sama sekali belum merata. Ketiga, sejak dini siswa Indonesia terus ditekan dengan berbagai jenis ujian dengan multi disiplin ilmu.
Bandingkan dengan Finlandia, mereka sama sekali tidak mengukur atau memberikan ujian kepada siswanya pada enam tahun pertama pendidikannya. Selain itu, hanya ada satu tes standar yang dilakukan pemerintah Finlandia yakni ketika siswa berusia 16 tahun, dengan catatan sudah meratanya infrastruktur dan suprastruktur pendidikan
Membandingkan berbagai kelemahan di atas dengan sistem pendidikan Finlandia, sudah seharusnya keberadaan UN dievalusi dengan lebih serius. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan tegas menggariskan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa… .” Pendidikan nasional tidak seharusnya hanya mengukur kemampuan intelektual manusia Indonesia tanpa melihat watak dan kepribadiannya. Karena nyatanya negeri ini sudah banyak memproduksi manusia pintar, tapi masih minim manusia cerdas berkarakter.
Oleh :
Denny Reza Kamarullah
Mahasiswa Jurusan Teknik Pertambangan
Institut Teknologi Bandung (ITB)
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana sebenarnya sistem pendidikan yang baik? Untuk menjawab hal itu kita bisa mengacu pada hasil survei Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Pada 2003, organisasi yang berpusat di Perancis itu merilis daftar negara dengan sistem pendidikan terbaik. Hasil riset yang menilai kemampuan membaca, matematika dan ilmu pengetahuan pada siswa usia 15 tahun ini menetapkan Finlandia sebagai peringkat pertama. Finlandia meraih nilai terbaik. Bahkan mengalahkan Amerika yang notabene penuh dengan institusi pendidikan bergengsi.
Keberhasilan sistem dan output pendidikan Finlandia didasari beberapa hal. Pertama, anak-anak Finlandia belum boleh sekolah sebelum berumur tujuh tahun. Hal ini dikarenakan sebelum usia tersebut masih waktunya anak-anak bermain dan mengasah kreativitas. Selain itu, hal tersebut juga untuk memastikan bahwa anak-anak sudah siap menerima pengajaran.
Kedua, selama enam tahun pertama pendidikannya, anak-anak Finlandia sama sekali tidak diukur atau dites kemampuannya. Ketiga, hanya ada satu tes standar wajib di Finlandia, yang diambil ketika anak-anak berusia 16 tahun. Keempat, semua guru di Finlandia harus memiliki gelar master, yang sepenuhnya disubsidi.
Pemaparan di atas jelas menelanjangi kebobrokan ujian nasional (UN). Pertama, UN menyamaratakan kemampuan siswa dan berfokus pada aspek kognitif (pengetahuan intelektual). Sementara, harus disadari bahwa setiap siswa memiliki minat dan bakat yang berbeda.
Kedua, UN dilaksanakan dengan standar yang sama, sementara infrastruktur pendidikan di Indonesia sama sekali belum merata. Ketiga, sejak dini siswa Indonesia terus ditekan dengan berbagai jenis ujian dengan multi disiplin ilmu.
Bandingkan dengan Finlandia, mereka sama sekali tidak mengukur atau memberikan ujian kepada siswanya pada enam tahun pertama pendidikannya. Selain itu, hanya ada satu tes standar yang dilakukan pemerintah Finlandia yakni ketika siswa berusia 16 tahun, dengan catatan sudah meratanya infrastruktur dan suprastruktur pendidikan
Membandingkan berbagai kelemahan di atas dengan sistem pendidikan Finlandia, sudah seharusnya keberadaan UN dievalusi dengan lebih serius. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan tegas menggariskan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa… .” Pendidikan nasional tidak seharusnya hanya mengukur kemampuan intelektual manusia Indonesia tanpa melihat watak dan kepribadiannya. Karena nyatanya negeri ini sudah banyak memproduksi manusia pintar, tapi masih minim manusia cerdas berkarakter.
Oleh :
Denny Reza Kamarullah
Mahasiswa Jurusan Teknik Pertambangan
Institut Teknologi Bandung (ITB)
Sejak Lama, Ujian Nasional Sudah Gagal
JAKARTA, KOMPAS.com — Sekitar 48 tahun lamanya, warga negara Indonesia mengenal ujian kelulusan. Namanya bermacam-macam, tetapi mengusung tujuan yang sama, yaitu lulus dari jenjang satu untuk melanjutkan ke jenjang lainnya. Ironisnya, tak satu pun dinilai berhasil memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia.
Penasihat Ikatan Guru Indonesia (IGI), Itje Chodijah, mengatakan bahwa sekian lama ujian penentu kelulusan ini hanya memenuhi agenda pemerintah untuk melanjutkan proyek dengan aliran dana yang besar.
"Kalau dibilang keberhasilan UN itu keberhasilan seperti apa? Lulus semua itu dibilang berhasil? Itu hanya keberhasilan semu. Sejak lama, UN ini sudah gagal," kata Itje saat dijumpai seusai jumpa pers pelaksanaan UN di Kantor ICW, Jakarta, Selasa (16/4/2013).
Seperti diketahui, Ujian Nasional (UN) yang dikenal sekarang berawal dengan nama Ujian Negara pada tahun 1965-1971, lalu sempat diambil alih oleh sekolah dan disebut Ujian Sekolah pada tahun 1972-1979. Mulai tahun 1980-2000, Ujian Sekolah diganti oleh Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) dengan dalih mengendalikan mutu pendidikan nasional dan kembali dijalankan oleh pusat.
Memasuki periode 2001-2004, Ebtanas berubah nama menjadi Ujian Akhir Nasional (UAN). Kemudian, mulai 2005 hingga saat ini, nama UN yang digunakan dengan perbedaan aturan seperti adanya nilai batas kelulusan untuk tiap mata pelajaran dan rata-rata nilai serta menggabungkan dengan akumulasi nilai rapor dan ujian sekolah.
"Tapi, pada dasarnya, mau seperti apa pun, UN ini nggak penting. Kalau dibilang nasional, standar pendidikan seperti apa yang dipakai? Standar sekolah kota pastinya," ujar Itje.
Hal ini tentu tidak adil bagi daerah-daerah di luar ibu kota atau di luar Pulau Jawa yang memiliki standar pendidikan jauh berbeda. Saat dibilang merata dan diberikan kisi-kisi yang sama, pada kenyataannya, hal tersebut sulit berjalan karena UN ini tidak hanya terbatas pada standar materi ujian.
"Sekarang soalnya sama semua. Tapi, pengajarnya yang mengajarkan materi itu kemampuannya tidak sama, lalu anaknya yang diuji. Coba bayangkan saja logikanya seperti apa," ungkap Itje.
Untuk itu, ia memberi saran agar tiap unsur pendidikan baik guru, kepala sekolah, maupun pengawas distandardisasi terlebih dahulu. Apabila standar minimumnya tercapai dan ada patokan yang pasti, anak-anak berhak diuji sesuai dengan standar yang ada.
"Jadi, UN boleh saja selama semuanya sudah standar. Ya guru, kepala sekolah, pengawas, dan sekolahnya sendiri," ujarnya.
Pada kenyataannya, pemerintah sendiri mengklasifikasikan sekolah dengan sekolah unggulan, sekolah standar nasional, sekolah reguler, sekolah satu atap, dan lain-lain. "Tapi, saat ujiannya disamakan, masuk akal atau tidak seperti itu," ungkapnya.
"Jadi, di luar penundaan UN dan teknis lainnya, ujian seperti ini sudah tidak penting. Siswa belajar hanya untuk ujian, bukan untuk menguasai suatu hal," tandasnya.
Penasihat Ikatan Guru Indonesia (IGI), Itje Chodijah, mengatakan bahwa sekian lama ujian penentu kelulusan ini hanya memenuhi agenda pemerintah untuk melanjutkan proyek dengan aliran dana yang besar.
"Kalau dibilang keberhasilan UN itu keberhasilan seperti apa? Lulus semua itu dibilang berhasil? Itu hanya keberhasilan semu. Sejak lama, UN ini sudah gagal," kata Itje saat dijumpai seusai jumpa pers pelaksanaan UN di Kantor ICW, Jakarta, Selasa (16/4/2013).
Seperti diketahui, Ujian Nasional (UN) yang dikenal sekarang berawal dengan nama Ujian Negara pada tahun 1965-1971, lalu sempat diambil alih oleh sekolah dan disebut Ujian Sekolah pada tahun 1972-1979. Mulai tahun 1980-2000, Ujian Sekolah diganti oleh Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) dengan dalih mengendalikan mutu pendidikan nasional dan kembali dijalankan oleh pusat.
Memasuki periode 2001-2004, Ebtanas berubah nama menjadi Ujian Akhir Nasional (UAN). Kemudian, mulai 2005 hingga saat ini, nama UN yang digunakan dengan perbedaan aturan seperti adanya nilai batas kelulusan untuk tiap mata pelajaran dan rata-rata nilai serta menggabungkan dengan akumulasi nilai rapor dan ujian sekolah.
"Tapi, pada dasarnya, mau seperti apa pun, UN ini nggak penting. Kalau dibilang nasional, standar pendidikan seperti apa yang dipakai? Standar sekolah kota pastinya," ujar Itje.
Hal ini tentu tidak adil bagi daerah-daerah di luar ibu kota atau di luar Pulau Jawa yang memiliki standar pendidikan jauh berbeda. Saat dibilang merata dan diberikan kisi-kisi yang sama, pada kenyataannya, hal tersebut sulit berjalan karena UN ini tidak hanya terbatas pada standar materi ujian.
"Sekarang soalnya sama semua. Tapi, pengajarnya yang mengajarkan materi itu kemampuannya tidak sama, lalu anaknya yang diuji. Coba bayangkan saja logikanya seperti apa," ungkap Itje.
Untuk itu, ia memberi saran agar tiap unsur pendidikan baik guru, kepala sekolah, maupun pengawas distandardisasi terlebih dahulu. Apabila standar minimumnya tercapai dan ada patokan yang pasti, anak-anak berhak diuji sesuai dengan standar yang ada.
"Jadi, UN boleh saja selama semuanya sudah standar. Ya guru, kepala sekolah, pengawas, dan sekolahnya sendiri," ujarnya.
Pada kenyataannya, pemerintah sendiri mengklasifikasikan sekolah dengan sekolah unggulan, sekolah standar nasional, sekolah reguler, sekolah satu atap, dan lain-lain. "Tapi, saat ujiannya disamakan, masuk akal atau tidak seperti itu," ungkapnya.
"Jadi, di luar penundaan UN dan teknis lainnya, ujian seperti ini sudah tidak penting. Siswa belajar hanya untuk ujian, bukan untuk menguasai suatu hal," tandasnya.
Mendikbud Akan Digugat Hukum jika UN Tetap Diadakan
Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti. |
JAKARTA, KOMPAS.com - Federasi Serikat Guru Indonesia akan melayangkan gugatan hukum terhadap Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh jika Ujian Nasional terus diadakan. Mereka menuntut UN dihapuskan sebagai syarat kelulusan dan syarat masuk perguruan tinggi negeri (PTN).
"Kami dari guru sepakat bahwa batalkan hasil UN sebagai penentu keluluan dan tiket masuk PTN. Kalau Mendikbud masih bersikeras, kami akan layangkan gugatan secara hukum," ujar Sekretaris Jenderal FSGI Retno Listyarti dalam jumpa pers di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Minggu (28/4/2013).
Retno menuturkan, guru dan murid menjadi pihak yang paling dirugikan dari keteledoran pemerintah. Selain elemen guru, Retno juga mengatakan pihak siswa dan orangtua murid serta anggota DPR sudah siap melayangkan gugatan secara hukum.
"Tertundanya pelaksanaan UN pada tahun 2013 ini merupakan momentum yang tepat untuk menghapuskan UN. Kalau pun tetap mau mengadakan UN, hanya jadikan sebagai pemetaan, bukan syarat kelulusan," tegas Ratna.
Lebih lanjut, Ratna mengaku tidak akan mempermasalahkan pelaksanaan UN jika negara sudah memenuhi segala kewajibannya seperti memberikan fasilitas yang baik, menyamaratakan akses informasi, hingga meningkatkan kualitas guru.
"Sampai sekarang semua hal itu belum terpenuhi. Jangan samakan peserta didik yang tinggal di kota dengan daerah-daerah terpencil yang untuk mencapai sekolahnya saja dia harus bertaruh nyawa. Ini sangat tidak adil," tandas Retno.
Dia mencontohkan, ketimpangan mutu pendidikan juga sempat terjadi di Amerika Serikat antara kulit hitam dan kulit putih. Saat itu, lima siswa kulit hitam melayangkan gugatan ke pengadilan karena merasa UN di negeri itu tidak bisa disamaratakan bobotnya untuk semua siswa. Siswa kulit hitam mengeluhkan sulitnya mendapatkan akses pendidikan.
Akhirnya, kata Ratna, pengadilan memenangkan siswa kulit hitam ini dan memberikan perintah kepada semua distrik di Amerika Serikat untuk menyamaratakan mutu pendidikannya mulai dari fasilitas hingga kualitas guru.
"Hal yang sama juga harus terjadi di Indonesia. Jika tidak, negara kita hanya akan mewarisi kebohongan karena anggaran pendidikan tiap tahun paling besar, tetapi mutu kita masih jauh dari Palestina yang tengah berperang," tandas Retno.
Sumber : kompas(dot)com
Sabtu, 20 April 2013
Jokowi: Dari Awal Saya Tak Setuju UN
JAKARTA, KOMPAS.com — Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo menilai Ujian Nasional (UN) tak efektif jika hasilnya dijadikan standar kelulusan siswa sekolah. Ia prihatin karena banyak siswa yang mengeluh dan terpaksa mengikuti UN demi kelulusan.
"UN itu dari pemerintah pusat. Kalau saya dari awal memang enggak setuju ada UN," kata Jokowi dalam dialog bersama pelajar SMA Negeri 6 dan SMA Negeri 70 di Gelanggang Olahraga (GOR) Bulungan, Jakarta Selatan, Kamis (18/4/2013).
Pernyataan Jokowi itu dilontarkan saat menjawab pertanyaan seorang siswi SMAN 70 terkait pelaksanaan UN. Ratusan siswa yang hadir di GOR Bulungan sontak menyambut riuh seakan puas dengan jawaban Jokowi.
Mantan Wali Kota Surakarta itu menyampaikan, pelaksanaan UN akan lebih baik jika ditujukan untuk memetakan pendidikan nasional. Hasil UN di suatu wilayah bisa diolah dan dijadikan data pokok untuk pemetaan pendidikan itu.
Jokowi merasa prihatin karena banyak siswa mengeluh dan mengikuti UN dengan terpaksa. Ia menilai tidak seimbang bila siswa menempuh pendidikan bertahun-tahun, tetapi kelulusannya ditentukan melalui ujian yang digelar selama beberapa hari.
"Kelulusan hanya ditentukan selama tiga atau empat hari, sangat riskan. Tapi, sekali lagi, itu kebijakan pemerintah pusat dan saya enggak bisa membuat kebijakan sendiri," ujarnya.
Pertemuan antara Jokowi dan para pelajar SMAN 6 dan SMAN 70 itu dilakukan setelah para siswa selesai mengikuti UN. Selain berdialog, Jokowi juga memberikan 20 sepeda untuk pelajar dari kedua sekolah itu.
sumber : kompas(dot)com
______________________________________________________
baca juga :
* Next Inspiration : Yoga Rifai Hamzah, Enterpreuner dari Bandung Euiy..
* Menjadi Pembuka Tutup Botol Yang Baik
______________________________________________________
baca juga :
* Next Inspiration : Yoga Rifai Hamzah, Enterpreuner dari Bandung Euiy..
* Menjadi Pembuka Tutup Botol Yang Baik
Rabu, 17 April 2013
Next Inspiration : Yoga Rifai Hamzah, Enterpreuner dari Bandung Euiy..
Setelah Sukses menanam benih motivasi dan inspirasi oleh Ahmad Irwiyan Haq 6 April lalu. Selasa, 16 April 2013 MI Kranji 01 kembali memantik motivasi dan inspirasi siswanya di Kelas Inspirasi dengan menghadirkan tokoh inspiratif lainnya. Yoga Rifa'i Hamzah, seorang enterpreuner yang sukses meniti karier di Teknosoft Media Jakarta.
Pak Yoga, begitu panggilan akrab beliau. Membuka Kelas Inspirasi dengan semangat membahana. berkenalan dengan seluruh murid satu persatu beserta cita-cita masing-masing. Ada arkeolog, arsitek, pembalap, pemain bola, bu nyai, pengarang, guru, dokter, koki, dosen, insinyur, pemain film, produser, pembuat film animasi, peneliti,arkeolog, astronot, detektif, bos konveksi, dan ada yang hanya bercita-cita bisa ke jakarta, ada pula yang bercita-cita ingin pergi keluar negeri.
Apresiasi, do'a dan semangat tersemat di setiap perkenalan dan apapun cita-cita setiap siswa. Luar biasa, seluruh siswa dibuat mrinding olehnya.
Mas Yoga menekankan pada murid-murid untuk tidak hanya bermimpi besar tapi juga harus diiringi kebenaran dalam mengambil sikap untuk menggapai mimpi tersebut. Dalam Islam terdapat istilah "tuul amal", yaitu "panjang angan-angan" yang berbeda dengan mimpi karena mimpi harus disertai dengan sikap yang benar dan kerja keras pantang menyerah yang biasa disebut ikhtiar.
Proses mewujudkan mimpi yang benar adalah dengan proses belajar, doa, bekerja keras, pantang menyerah dan restu orang tua dan berdoa, di situlah sikap yang harus dipegang oleh para siswa, jadi mimpi dan sikap adalah satu kesatuan. tandas beliau.
Kata-kata mutiara, kalimat-kalimat motivasi dan cerita-cerita inspiratif mengalir indah penuh makna tersuguh nikmat dihadapan para calon generasi pemimpin bangsa ini. Ada yang tersenyum penuh harap, terhenyak diam punuh bayangan, menatap tajam penuh impian dan beberapa tertawa lepas penuh rasa tertantang. Para siswa menyerap habis kata demi kata, kalimat dengan kalimat dan cerita demi cerita. Sangat menginspirasi.
Tak cukup sampai disitu, tak luput beliau menuturkan pengalaman pribadi saat kecil. Dari berdagang jajan, berbakti pada orangtua hingga prestasi beliau mendapat beasiswa dari SMP hingga kuliah di Perguruan Tinggi mendapat sambutan meriah peserta kelas ispirasi. Cerita suka duka saat beliau mondok di pesantren pun melengkapi pantikan inspirasi dan motivasi seluruh murid.
Hingga pada akhirnya itulah pengalaman-pengalaman yang mengantarkan beliau seperti sekarang ini. Seorang enterpreuner sukses, pekerja sosial (social worker), kontributor mosquelife, pembangun dan pengembang komunitas "Buka Hati", pembina beberapa perpustakaan berbasis komunitas di Jabotabek dan Pekalongan.
Beliau juga punya banyak kegiatan untuk advokasi, pembinaan kapasitas skill komunitas dan penyebaran pengetahuan, terutama untuk daerah kumuh, pesantren dan komunitas baca. Beliau juga biasa melakukan pelatihan berkaitan dengan literasi, bantuan kemanusiaan, pelatihan dll. yang dilakukan di seluruh Indonesia.
Terimakasih mas Yoga, semua siswa begitu terkesan, termotifasi dan terinspirasi. Ini adalah bekal awal mereka menuju kehidupan yang sebenarnya. dan yang paling penting adalah mereka belajar.
Belajar tidak sesempit menghafal setiap bab pada mata pelajaran, atau memahami setiap butir soal ujian. Namun belajar adalah bagaimana memantik diri untuk siap menghadapi masa depan. (hd)
_______________________________________________
Baca juga :
* Kelas Inspirasi menanamkan sejuta mimpi
* Menjadi Pembuka Botol yang Baik
Mas Yoga bercerita banyak hal yang menginspirasi pada siswa |
Apresiasi, do'a dan semangat tersemat di setiap perkenalan dan apapun cita-cita setiap siswa. Luar biasa, seluruh siswa dibuat mrinding olehnya.
Mas Yoga menekankan pada murid-murid untuk tidak hanya bermimpi besar tapi juga harus diiringi kebenaran dalam mengambil sikap untuk menggapai mimpi tersebut. Dalam Islam terdapat istilah "tuul amal", yaitu "panjang angan-angan" yang berbeda dengan mimpi karena mimpi harus disertai dengan sikap yang benar dan kerja keras pantang menyerah yang biasa disebut ikhtiar.
Proses mewujudkan mimpi yang benar adalah dengan proses belajar, doa, bekerja keras, pantang menyerah dan restu orang tua dan berdoa, di situlah sikap yang harus dipegang oleh para siswa, jadi mimpi dan sikap adalah satu kesatuan. tandas beliau.
Kata-kata mutiara, kalimat-kalimat motivasi dan cerita-cerita inspiratif mengalir indah penuh makna tersuguh nikmat dihadapan para calon generasi pemimpin bangsa ini. Ada yang tersenyum penuh harap, terhenyak diam punuh bayangan, menatap tajam penuh impian dan beberapa tertawa lepas penuh rasa tertantang. Para siswa menyerap habis kata demi kata, kalimat dengan kalimat dan cerita demi cerita. Sangat menginspirasi.
Tak cukup sampai disitu, tak luput beliau menuturkan pengalaman pribadi saat kecil. Dari berdagang jajan, berbakti pada orangtua hingga prestasi beliau mendapat beasiswa dari SMP hingga kuliah di Perguruan Tinggi mendapat sambutan meriah peserta kelas ispirasi. Cerita suka duka saat beliau mondok di pesantren pun melengkapi pantikan inspirasi dan motivasi seluruh murid.
Mas Yoga bersama siswa belajar membangun mimpi dan cita-cita |
Beliau juga punya banyak kegiatan untuk advokasi, pembinaan kapasitas skill komunitas dan penyebaran pengetahuan, terutama untuk daerah kumuh, pesantren dan komunitas baca. Beliau juga biasa melakukan pelatihan berkaitan dengan literasi, bantuan kemanusiaan, pelatihan dll. yang dilakukan di seluruh Indonesia.
Terimakasih mas Yoga, semua siswa begitu terkesan, termotifasi dan terinspirasi. Ini adalah bekal awal mereka menuju kehidupan yang sebenarnya. dan yang paling penting adalah mereka belajar.
Belajar tidak sesempit menghafal setiap bab pada mata pelajaran, atau memahami setiap butir soal ujian. Namun belajar adalah bagaimana memantik diri untuk siap menghadapi masa depan. (hd)
_______________________________________________
Baca juga :
* Kelas Inspirasi menanamkan sejuta mimpi
* Menjadi Pembuka Botol yang Baik
"Get Something" dari Pabrik Batik, Stasiun Radio sampai Pabrik Kerupuk
Selasa, 16 April 2013 siswa kelas I - IV MI Walisongo Kranji 01 berarak-arakan menggunakan 6 angkot menuju sebuah "laboratorium" besar berupa stasiun radio, pabrik batik dan pabrik kerupuk. Enam kilo meter dari Madrasah kami. Cukup 15 menit kami sampai di tujuan.
Riang dan gembira terlukis di hampir seluruh siswa yang mengikuti kegiatan yang kami sebut sebagai "Get Something". Siswa kami ajak ke beberapa tempat menarik untuk dijadikan tempat belajar. Layaknya sebuah laboratorium siswa melakukan pengamatan (observation), Eksplorasi (exploration), Elaborasi (elaboration), konfirmasi (confirmation), penalaran (reasoning), percobaan (experiment), penemuan (finding), pengalaman (experience) hingga menyimpilkan (conclution) secara otomatis dan alami sesuai dengan naluri seorang anak.
"Laboratorium" kami yang pertama adalah Stasiun radio. Seperti tak tahan menahan ribuan penasaran para siswa langsung menyerbu pintu masuk SONETA FM Pekalongan. Dari awalnya hanya melihat-lihat hingga mencoba mengudara bersama penyiar profesional. Dani (kelas IV), Ades (Kelas III), Zidan dan Nabil (Kelas I) cap cip cus bla bli blu "on air" layaknya penyiar beneran.
Wuih... senengnya mereka, baik yang mendapatkan kesempatan bersiaran atau yang hanya melihat proses dan perangkat siar yang bagi mereka adalah pengalaman baru yang sangat menarik. Apalagi penyambutan owner SONETA FM Pekalongan bapak H. Nur Hadi yang memuaskan hati dengan suguhan keramahan serta kudapan istimewa membuat para siswa betah lama-lama belajar disana.
"Laboratorium" kedua kami adalah pabrik batik "H. ABBAS" salah satu pengrajin batik terbesar di Pekalongan. Di pabrik yang luasnya puluhan hektar ini, siswa kami diajak keliling melihat proses pembuatan batik printing dan sablon. Para pekerja yang semuanya ramah dengan sabar meladeni pertanyaan-pertanyaan dari para siswa yang penasaran dengan apa yang mereka lakukan.
"Oooh..." kata yang sangat kami tunggu akhirnya keluar dari para siswa setelah mendengarkan dengan seksama jawaban-jawaban dan keterangan dari para pekerja sambil mempraktikkan bagaimana mereka bekerja sehari-hari. Yes..!!!
"Laboratorium" kami yang ketiga adalah pabrik krupuk. Walaupun ini yang ketiga namun semangat para siswa untuk belajar tak melemah. Buktinya mereka berebut masuk dan ingin segera melihat proses pembuatan kerupuk yang biasa mereka makan setiap hari. Baik sebagai lauk maupun cemilan ringan teman minum teh hangat di sore hari.
Semua terkesima ketika melihat tukang cetak kerupuk yang cekatan menggerakkan badan dan tangannya beriringan dan khas hingga tercetak kerupuk mentah siap jemur dengan kilat dan dengan ukuran yang sama. "Wow" untuk tukang cetak krupuk. Salut.
Tak puas hanya melihat. Siswa ditantang oleh Pak Ustadz Fathurrozak si pemilik pabrik krupuk untuk mencoba membuat kerupuk sendiri. Dengan bimbingan para pekerja para siswa mencoba berbagai tahapan membuat kerupuk. Mulai dari mengadon, mencetak sampai menjemur kerupuk mentah. Walau hasilnya sangat kurang memuaskan namun Pak Ustadz Fathurrozak memuji keberanian para siswa untuk mencoba tantangan yang ia berikan.
"Ternyata sulit ya bikin kerupuk..." ungkapan lugu dari seorang siswa menutup pembelajaran dengan sebuah kesimpulan sederhana. Sesuatu yang diluar dugaan kami sebagai pengajar. Tanpa diminta mereka secara otomatis dan alamiah melakukan apa yang seharusnya dilakukan di ruangan yang biasa disebut "laboratorium". Ya, mereka semua melakukan walau ada yang tidak diungkapkan.
"Ini yang disebut project based learning" ungkap Munif Chatib seorang pakar pendidikan dan pakar Multple Intelligences melalui akun Facebooknya setelah memberi tanda "suka" pada foto kegiatan ini yang diunggah oleh Pak Hida salah seorang guru kami.
Dengan membawa masing-masing sekantung kerupuk dan berkantung-kantung ilmu dan pengalaman baru kami pun pulang. Terima kasih Pak H. Nur Hadi SONETA FM Pekalongan, Pak H. Abbas, dan Pak Ustadz Fathrrozak. Selain sumber bembelajaran, panjenengan semua adalah sumber inspirasi bagi kami dan anak-anak kami. Jazakumullah akhsanal jaza... amin.
_________________________________________________________
Baca juga :
* Ujian Nasional : Antara Evaluasi dan Gengsi
* Benarkah Siswa Belajar ketika Guru Mengajar??
Riang dan gembira terlukis di hampir seluruh siswa yang mengikuti kegiatan yang kami sebut sebagai "Get Something". Siswa kami ajak ke beberapa tempat menarik untuk dijadikan tempat belajar. Layaknya sebuah laboratorium siswa melakukan pengamatan (observation), Eksplorasi (exploration), Elaborasi (elaboration), konfirmasi (confirmation), penalaran (reasoning), percobaan (experiment), penemuan (finding), pengalaman (experience) hingga menyimpilkan (conclution) secara otomatis dan alami sesuai dengan naluri seorang anak.
"Laboratorium" kami yang pertama adalah Stasiun radio. Seperti tak tahan menahan ribuan penasaran para siswa langsung menyerbu pintu masuk SONETA FM Pekalongan. Dari awalnya hanya melihat-lihat hingga mencoba mengudara bersama penyiar profesional. Dani (kelas IV), Ades (Kelas III), Zidan dan Nabil (Kelas I) cap cip cus bla bli blu "on air" layaknya penyiar beneran.
Zidan dan Nabil siswa kelas I meladeni penyiar profesional on air. Siapa takut? |
"Laboratorium" kedua kami adalah pabrik batik "H. ABBAS" salah satu pengrajin batik terbesar di Pekalongan. Di pabrik yang luasnya puluhan hektar ini, siswa kami diajak keliling melihat proses pembuatan batik printing dan sablon. Para pekerja yang semuanya ramah dengan sabar meladeni pertanyaan-pertanyaan dari para siswa yang penasaran dengan apa yang mereka lakukan.
Para siswa menikmati betul kegiatan observasi pembuatan batik. "ooh.. begitu tho?" |
"Laboratorium" kami yang ketiga adalah pabrik krupuk. Walaupun ini yang ketiga namun semangat para siswa untuk belajar tak melemah. Buktinya mereka berebut masuk dan ingin segera melihat proses pembuatan kerupuk yang biasa mereka makan setiap hari. Baik sebagai lauk maupun cemilan ringan teman minum teh hangat di sore hari.
Semua terkesima ketika melihat tukang cetak kerupuk yang cekatan menggerakkan badan dan tangannya beriringan dan khas hingga tercetak kerupuk mentah siap jemur dengan kilat dan dengan ukuran yang sama. "Wow" untuk tukang cetak krupuk. Salut.
Sset.. ssett.. ssett.. cetak kerupuk, cepat dan akurat. "Boleh kami coba?" |
"Ternyata sulit ya bikin kerupuk..." ungkapan lugu dari seorang siswa menutup pembelajaran dengan sebuah kesimpulan sederhana. Sesuatu yang diluar dugaan kami sebagai pengajar. Tanpa diminta mereka secara otomatis dan alamiah melakukan apa yang seharusnya dilakukan di ruangan yang biasa disebut "laboratorium". Ya, mereka semua melakukan walau ada yang tidak diungkapkan.
"Ini yang disebut project based learning" ungkap Munif Chatib seorang pakar pendidikan dan pakar Multple Intelligences melalui akun Facebooknya setelah memberi tanda "suka" pada foto kegiatan ini yang diunggah oleh Pak Hida salah seorang guru kami.
Dengan membawa masing-masing sekantung kerupuk dan berkantung-kantung ilmu dan pengalaman baru kami pun pulang. Terima kasih Pak H. Nur Hadi SONETA FM Pekalongan, Pak H. Abbas, dan Pak Ustadz Fathrrozak. Selain sumber bembelajaran, panjenengan semua adalah sumber inspirasi bagi kami dan anak-anak kami. Jazakumullah akhsanal jaza... amin.
_________________________________________________________
Baca juga :
* Ujian Nasional : Antara Evaluasi dan Gengsi
* Benarkah Siswa Belajar ketika Guru Mengajar??
Selasa, 16 April 2013
Sistem Pendidikan Kita??
Begitupun manusia, setiap individu Diciptakan berbeda. Disitulah urgensi memahami Multiple Intelligences dalam dunia pendidikan. |
"Sudahlah Pak Presiden, Tak Perlu Ada UN Tahun Depan"
JAKARTA, KOMPAS.com — Penyelenggaraan ujian nasional (UN) 2013 yang diwarnai kekisruhan menguatkan wacana penghapusan UN. Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti mendorong Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menghapus UN pada tahun depan.
Retno mengatakan bahwa kebijakan pelaksanaan UN tahun ini sesungguhnya ilegal karena tidak menghormati keputusan Mahkamah Agung (MA) terkait UN yang diputuskan pada tahun lalu.
"Sudah Pak Presiden, tidak perlu ada UN tahun depan. Ini adalah UN yang terakhir. UN ini sudah ilegal, gagal pula pelaksanaannya," kata Retno saat jumpa pers terkait pelaksanaan UN di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta, Selasa (16/4/2013).
Ia juga mempertanyakan biaya tinggi yang digunakan untuk pengadaan naskah soal dan lembar jawaban UN (LJUN) hingga Rp 94,8 miliar. Dengan anggaran sebesar itu, semestinya kendala teknis yang terjadi pada UN kali ini tidak akan ada.
"UN ini sudah berbiaya tinggi, tapi kualitasnya tidak baik dan tidak mengukur kualitas pendidikan Indonesia yang sebenarnya," ujar Retno.
"Jadi, sudahlah, tidak usah dipaksakan lagi adanya UN. Sudah belajar keras ternyata ditunda, anak-anak semakin stres saja," tandasnya.
Seperti diketahui, UN 2013 dianggap gagal akibat tidak digelar serentak lantaran adanya keterlambatan distribusi soal ke 11 provinsi yang mengakibatkan penundaan UN. Selain itu, daerah yang menggelar UN tepat waktu juga didera berbagai masalah teknis, seperti soal kurang, soal tertukar, dan LJUN rusak.
Sumber : Kompas.com
Ahok: Kalau Mau UN, Sekolah Bubarkan Saja!
JAKARTA - Ujian Nasional (UN) tingkat SMA dan sederajat, hari ini serentak dilakukan di seluruh Indonesia. Berbagai harapan pun muncul terkait dengan jumlah kelulusan sebesar-besarnya.
Namun, pernyataan berbeda justru terlontar dari Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama (Ahok). Dengan nada sinis, mantan Bupati Belitung Timur itu menegaskan bahwa dirinya tidak setuju tentang keberadaan UN.
"Harapan saya enggak ada UN. Bikin stres. Ya orang kan mesti dihitung disiplinnya, bukan cuma dari UN. Orang mesti dilihat prosesnya. Kalau sistem pendidikan yang baik itu prosesnya, bukan hasilnya," tegas Ahok, di Balai Kota Jakarta, Senin (15/4/2013).
Namun, Ahok menegaskan bahwa apa yang dilontarkannya itu sebagai pandangan pribadi. "Sebagai wagub ya saya harus ikut, tapi sebagai pribadi saya enggak mau UN," terangnya.
Proses UN yang berlangsung saat ini, lanjut Ahok, membuat siswa melakukan hal di luar logika. "Bikin orang stres, sampai ke dukun, doa-doa. Jadi sesuatu yang lucu. Apakah kamu dapat ujian nilai tinggi menjamin karakter kamu bagus? Kamu bisa disiplin kerja? Kamu orang yang tahan banting? Tahan menghadapi kesulitan? Tidak juga," tegasnya.
Semua sekolah saat ini, lanjut Ahok, sudah mematok biaya mahal. Dengan membentuk komite sekolah, justru ada pungutan lain yang dibebankan pada orangtua siswa.
"Orangtua ketakutan, rela bayar lagi, bayar bimbel, bimbel masuk ke sekolah di jam sekolah. Sekolah punya kewajiban 24 jam tatap muka, hanya demi ngelulusin," tukas Ahok.
Bahkan, karena rasa ketakutan itu, sambungnya, pihak guru pun memberikan contekan pada anak didiknya. "Seharusnya kayak dulu saja. Dinilai prosesnya. Guru mengenali muridnya. Potensinya apa. Kalau mau UN, sekolah bubarin saja! Semua belajar masing-masing. Les saja, bimbel, terus langsung ujian," tandasnya.(ade)
Sumber : okezone.com
------------------------------------------------------------------------------------------
Baca juga :
* Multiple Intelligences
* Sekolahnya Manusia
Senin, 15 April 2013
Benarkah Siswa Belajar ketika Guru Mengajar??
Saya dan sebagaian kita yang berprofesi sebagai guru setiap hari keluar masuk kelas untuk mengajar. Pertanyaan besarnya adalah apakah siswa yang kita ajar benar-benar belajar ketika kita mengajar?
Pasti kita sepakat jawabanya pasti TIDAK. Mengapa?
Dalam benak kita pasti ada seribu jawaban untuk pertanyaan tersebut. Namun, saya mohon ijin untuk sedikit berbagi rumus untuk menjawabnya.
Dalam sebuah kelas tentu akan terdapat banyak jenis dan karakter siswa. Dari yang pendiam, pemalu, pengacau, pengganggu dan lain sabagainya. Dari situ kita bisa mengobservasi cara belajar masing siswa, ada yang mudah belajar dengan penyajian gambar, suara, gerak, game, tantangan, diskusi, debat, praktik langsung maupun berbagai cara lain.
Setelah mengetahui cara belajar siswa, kita bisa menyesuaikan cara mengajar kita. Karena rumusnya adalah cara mengajar guru harus sama dengan cara belajar siswa. Bagaimana mungkin siswa dapat melaksanakan proses belajar sedangkan cara mengajar guru jauh panggang dari api.
Seperti yang terjadi di kelas kebanyakan sekolah-sekolah kita? Tak perlu dipungkiri masih banyak guru yang memaksakan diri untuk mengajar menggunakan metode caramah untuk seluruh jenis dan karakter siswanya. Akibatnya banyak siswa yang tidak cocok dengan metode tersebut menjadi tidak belajar. Ada yang melampisakannya dengan mengobrol, mengganngu temannya, melamun atau bahkan mengantuk.
Hal yang sebenarnya tak perlu terjadi apabila guru mencoba "bermigrasi" dari alam ceramah ke alam yang lebih menyenangkan dengan berbagai metode dan strategi pembelajaran yang fariatif. Bahkan akan lebih baik bila guru bisa mengakomodir kecenderungan cara belajar siswa dengan metode-metode dan strategi mengajar guru.
Ini sudah kami praktikkan di Sekolah kami. Seluruh guru telah "bermigrasi" ke pembelajaran yang yang menyenangkan dengan fariasi strategi dan meminimalisir pembelajaran dengan ceramah. Hasilnya, sangat luar biasa. Para siswa menantikan pembelajaran-pembelajaran berikutnya dengan sangat antusias. Dan yang paling penting mereka benar-benar belajar.
Sudahkan siswa kita belajar ketika kita mengajar?
Bukankah sekolah adalah tempat belajar? Benarkah?
(hd)
_______________________________________________
Baca Juga :
* Merubah Pola belajar konsumsi menjadi Produksi
* Mendekatkan Siswa pada Realita Kehidupan
Rabu, 10 April 2013
Ujian Nasional : Antara Evaluasi dan Gengsi
Beberapa tahun yang lalu saya "menggenjot" murid saya dengan sangat ketat agar siap menghadapi Ujian Nasional. Mulai dari jam tambahan mata pelajaran Ujian Nasional, latihan mengerjakan soal (Try Out UN) berkali-kali, memberikan tips dan trik mengerjakan soal dengan cara cepat, mudah dan benar, kunjungan ke rumah murid, mengikuti bedah kisi-kisi berulang-ulang, Bimbingan Teknis guru mata pelajaran Ujian Nasional, sampai do'a bersama menjelang Ujian Nasional.
Dan itu dilakukan oleh seluruh sekolah-sekolah lain pada umumnya. Tujuannya mungkin sama, ingin mengantarkan murid-muridnya lulus dan mencapai nilai yang maksimal. Tak perlu saya pungkiri semua itu juga dilakukan karena ada ketakutan bila sekolah saya menduduki peringkat bawah dalam perangkingan Ujian Nasional baik tingkat Kecamatan maupun Kabupaten oleh pihak berwenang. Saya yakin ini juga dirasakan oleh guru di sekolah manapun.
Buktinya, saat yang paling mendebarkan bagi saya adalah saat pengumuman dan pembagian nilai Ujian Nasional. Dan yang menjadi perhatian penting saya dan guru pada umumnya adalah kelulusan murid dan peringkat sekolah.
Satu kata, gengsi. Itu yang saya rasakan. Bila mau jujur, banyak guru yang "memaksa" anak didiknya untuk melakukan ini dan itu dalam rangka "mensukseskan gengsi" gurunya. Dan kepala sekolah "menekan" wali kelas VI atau guru mata pelajaran Ujian Nasional untuk "bekerja" lebih giat guna "mendongkrak" peringkat sekolahnya. Bahkan pihak-pihak terkait juga melakukan hal yang sama untuk mengejar "prestasi semu" perangkingan Ujian Nasional antar kecamatan, antar kabupaten dah bahkan antar provinsi.
Anggapan saya waktu itu sangat sederhana. Ya, dengan peringkat Ujian Nasional yang tinggi menandakan bahwa mutu pendidikan di sekolah, kecamatan, kabupaten bahkan provinsi saya akan tinggi pula. Benarkah demikian?.
Ternyata tidak. Perangkingan Ujian Nasional tidak serta merta dapat menghukumi mutu pendidikan (baca: pembelajaran) di sebuah sekolah, kecamatan, kabupaten atau di provinsi tertentu baik atau buruk. Belum lagi pelaksanaan Ujian Nasional yang jauh dari kata sempurna. Dan sampai saat ini belum ada yang berani menjamin bahwa anak didiknya benar-benar melaksanakan Ujian Nasional dengan jujur dan fear.
Bila Ujian Nasional adalah alat untuk menghukumi mutu pendidikan. Maka tak ada bedanya mutu sekolah dengan fasilitas lengkap dan sekolah dengan fasilitas pas-pasan karena hasil ujiannya tak jauh beda.
Menurut saya Ujian Nasional lebih tepatnya hanya sebuah alat evaluasi pendidikan yang seharusnya berfungsi untuk memetakan mutu pendidikan di setiap daerah. Untuk selanjutnya dilakukan tindak lanjut untuk program-program pembenahan dan perbaikan. Lebih jauh lagi bukan alat untuk menghukumi murid sebagai anak "bodoh" atau "pintar" dengan kata yang lebih halus "lulus" dan "tidak lulus". Apalagi untuk mengukur mutu pendidikan di sebuah sekolah atau daerah tertentu. hanya dengan indikator dari mata pelajaran tertentu, naif memang.
Bila kita terus terjerumus dalam "lingkaran gengsi" UN, akhirnya kita disibukkan dengan hal-hal yang berkaitan dengan Ujian Nasional, menyiapkan ini itu demi meraih prestasi semu. Melupakan fungsi UN yang sebenarnya adalah sebuah evaluasi. Layaknya evaluasi, tindak lanjutnya bukanlah kebanggaan atas sebuah prestasi, namun pembenahan dan perbaikan disana-sini.
Saya sepakat semua hal akan diakhiri dengan sebuah evaluasi, termasuk pendidikan. Namun menurut saya kurang tepat apabila fungsi evaluasi menjadi ajang beradu gengsi yang apalagi menghalalkan segala cara untuk mencapainya. Hanya karena kita masih menganggap hasil evaluasi adalah sebuah prestasi bukan bahan instrospeksi diri.
Semoga anggapan saya salah. Amin.
(hd)
Sabtu, 06 April 2013
Kelas Inspirasi menanamkan sejuta mimpi
Ahmad Irwiyan Haq namanya. Alumni MI Kranji 01 yang sukses bekerja di sebuah perusahaan asing di Indonesia sebagai Technical Sales Engineer. Setelah kami undang sebulan yang lalu, akhirnya di tengah ribuan kesibukan yang sangat penting dalam pekerjaannya, pada Sabtu pagi, 6 April 2013 beliau menyempatkan diri hadir di MI Kranji 01 menemui murid kelas 5 dan 6, guna membawa sejuta inspirasi kepada mereka yang kami sebut dengan KELAS INSPIRASI.
Kelas Inspirasi sengaja kami hadirkan untuk murid-murid kelas 5 dan 6 agar mereka terispirasi oleh tamu-tamu yang kami hadirkan sehingga mereka punya impian dan cita-cita yang jelas untuk masa depan dan kehidupannya. Kelas Inspirasi juga menyingkap carita dibalik kesuksesan para tamu. Dari kisah nyata tertutur nilai-nilai agama, sosial dan etika yang akan tertanam kuat sehingga terduplikasi oleh seluruh murid.
Tepat pukul 09.00 kelas Inspirasi dimulai. Kelas yang tadinya riuh ramai zzeep... tiba-tiba hening ketika mas Yayan panggilan akrab Ahmad Irwiyan Haq ini memasuki ruang kelas 6 di lantai dua ini. 48 murid yang terdiri dari 13 murid kelas 5 dan 35 murid kelas 6 memancarkan pandangan berjuta penasaran.
Mas Yayan membuka Kelas Inspirasi dengan perkenalan yang mengesankan. Mulai dari bagi-bagi coklat hingga foto-foto bersama. Setelah suasana cair mas Yayan berbagi pengalaman dengan menceritakan kisah sukses beliau mulai dari masa RA, MI, SMP, SMA hingga masa perkuliahan beliau di ITB.
Seluruh pengalaman pun di ceritakan, lomba Pesta Siaga, jadi juara kelas, Duta Wisata Kab. Pekalongan, sampai suka duka di perkuliahan hingga pada akhirnya beliau bekerja di sebuah perusahaan asing di Indonesia.
Yang paling mengesankan dan membuat seluruh murid tercengang adalah ketika ditunjukkan sebuah foto mas Yayan berpose di depan Stadiun Chelsea FC dan MU FC.
Cerita impian beliau waktu SMP di tahun 2002 lalupun mengalir. Seorang anak SMP penggemar Club Sepakbola Chelsea dari desa kecil bernama Kranji bermimpi bisa pergi ke London dan menyaksikan pertandingan sepakbola secara langsung club kesayangannya tersebut. Mimpi yang sangat jarang ada. Namun di tahun 2012 mimpi tersebut jadi kenyataan. Markas Chelsea dan MU berhasil beliau sambangi setelah 10 tahun bermimpi. Tak hanya itu, beliau juga berhasil mewujudkan mimpinya mendapatkan penghargaan tingkat dunia di Amerika.
Mas Yayan duduk di ujung kiri bersama penerima penghargaan dari Malaysia, Jepang, Sri Langka, Amerika dan negara-negara lain |
Sungguh cerita yang sangat menakjubkan dan menginspirasi bagi saya dan murid-murid Kelas Inspirasi. semua tercengang dan tak habis pikir. Alumni MI Kranji 01, anak kampung yang sama dengan kita semua berhasil menginjakkan kaki di tempat yang diimpikan sepuluh tahun sebelumnya. Hanya dengan mimpi dan keinginan yang kuat untuk mewujudkannya.
Kelas Inspirasi akhirnya harus disudahi setelah 3,5 jam berlalu tanpa istirahat. Tepat pukul 12.30 WIB Mas Yayan mengakhiri pertemuan dengan mengambil janji seluruh murid bahwa mereka akan bermimpi dan bercita-cita setinggi langit dan berusaha mewujudkannya dengan penuh tanggungjawab dan kerja keras. Dan pada tahun 2023 nanti mereka akan datang ke MI Kranji 01 untuk menunjukkan impian dan cita-cita yang sudah tercapai serta menceritakannya pada adik-adik kelasnya kelak. Dan ditutup dengan teriakan "KAMI PASTI BISAAAA.....!!!"
Saya amat-teramat terharu mendengarnya. Dan hanya bisa berdoa semoga seluruh impian dan cita-cita kalian semua dapat menjadi kenyataan seperti Mas Yayan. Amiiiin..
Terimakasih Mas Yayan. Cerita dan pernyataan-pernyataan penjenengan sangat berkesan dan menenginspirasi.
Semoga hal yang sama akan terjadi di Kelas Inspirasi berikutnya. Amin.
(hd)
Rabu, 03 April 2013
Senin, 01 April 2013
Menjadi Pembuka Tutup Botol Yang Baik
Pembuka tutup botol? Ya, Mohon sejenak saya mengajak anda mencermati macam-macan jenis tutup botol minuman, makanan, minyak atau obat yang ada di sekitar kita. Misalnya tutup botol Sprite gelas, Sprite kaleng, Aqua botol, Aqua gelas, botol minyak telon, botol baby powder dan lain sebagainya.
Pertanyaannya adalah apakah cara membuka botol-botol tersebut sama? tentu kita sepakat bahwa cara membuka botol-botol tersebut diatas tidaklah sama. ada yang harus menggunakan alat pembuka, ada yang harus diputar searah jarum jam, ada yang cukup dengan hanya menggunakan ibu jari saja.
Lantas ada apa dengan itu semua? Begini. Kalau boleh saya mengumpamakan otak putra-putri kita dengan botol, maka putra-putri kita akan berbeda cara untuk membukanya. Putra-putri kita ternyata sangat berbeda dalam menangkap materi pembelajaran yang biasa kita sebut dengan gaya belajar. Mereka memiliki kecenderungan gaya belajar masing-masing. Ada yang harus dengan gambar-gambar, gerakan-gerakan, cerita imajinatif, game, tantangan, berkelompok dan ada yang cukup dengan sekali baca atau sekali mendengar ceramah mereka langsung dong (baca: faham).
Dulu, saya sebagai guru melakukan pembelajaran tidak memperhatikan hal-hal semacam itu. Saya selalu menggunakan satu metode andalan yang paling canggih (pada jamannya) yaitu CERAMAH ila yaumil qiyamah. Akibatnya pada post test yang saya lakukan hasilnya selalu tidak memuaskan karena yang dapat menangkap apa yang saya sampaikan adalah segelintir anak yang mempunyai gaya belajar cukup sekali baca dan cukup sekali dengar. Kebanyakan yang lain? TIDAK.
Sangat bisa dimaklumi, andaikan proses pembelajaran saya adalah proses membuka botol, maka saya menggunakan pembuka tutup botol Sprite untuk membuka seluruh macam botol yang ada. Akibatnya hanya botol-botol sejenis tutup botol Sprite yang dapat terbuka. Kebanyakan yang lain? TIDAK.
Dari situ saya beranggapan bahwa sebagai seorang guru saya harus tahu gaya belajar atau jenis tutup botol seperti apa putra-putri saya. Kemudian saya sesuaikan alat ataupun metode pembelajaran saya sehingga semua botol dapat terbuka dengan mudah dan cepat.
Semoga menginsprasi.
Sabtu, 30 Maret 2013
Out Bond Bareng Tamu-tamu Kecil
Kamis, 28 Maret 2013 pukul 08.30 WIB akhirnya tamu yang kami nanti datang. Ya, tamu-tamu kecil saya dari TK Muslimat NU Prawasan Kedungwuni Kab. Pekalongan. wajah mereka tampak sumpringah ketika kami sambut dengan ucapan salam.
Kedatangan tamu kecil kami bersama ibu-ibu guru dan orangtua mereka adalah untuk melihat langsung proses pembelajaran di MI Kranji 01 yang baru. Dengan begitu orangtua jadi tahu persis bagaimana MI Kranji 01 mengelola anak didiknya. "Ya, itu bagus. Agar orang tua tidak membeli kucing dalam karung" kata Pak Hida Guru MI Kranji 01 yang ikut menyambut anak-anak cerdas dan juara ini.
Tamu kecil dari TK Muslimat NU Prawasan kami suguhi kegiatan Out Bond yang menyenangkan di arena Out Bond MI Kranji 01. Out Bond adalah kegiatan di luar ruangan yang diisi dengan permainan-permainan pembentuk karakter positif anak seperti kerjasama, menghargai, kekompakan, toleransi, tidak saling menyalahkan dan lain sebagainya.
Setelah tertawa lepas penuh keriangan, tamu kecil kami kami ajak mengobservasi sungai yang masih dalam lingkungan out bond MI Kranji 01. Kami melihat tatapan mereka layaknya kamera fotografer yang membidik objek bidikan dengan jutaan bidikan, namun bedanya memori kamera tidak lebih hebat dari memori mereka yang terhubung langsung dengan otak ciptaan Tuhan.
Puas mengobservasi sungai mereka bersama guru dan orangtuanya kami persilakan untuk melihat langsung proses pembalajaran para guru kami yang multi strategi. Pertanyaan demi pertanyaan muncul dari orangtua dan para guru TK tentang mata pelajaran yang diajarkan dan strategi yang dipakai.
Pukul 10.00 WIB tamu-tamu kecil kami mohon diri. Dengan souvenir senyuman mereka membawa pulang seribu kesan dan kenangan bermain bersama kami. Do'a kami panjatkan semoga kelak mereka menjadi orang yang sukses sesuai Multiple Intelligences dari sang Pencipta yang tertanam pada diri mereka. Amin. (hd)
Jumat, 22 Maret 2013
Melahirkan para pembelajar sejati
Dulu saya bangga dapat mencetak siswa pintar (ukurannya dapat menjawab soal sebanyak-banyaknya). Namun sekarang saya merasa bodoh dengan hal tersebut. Bagaimana tidak, buat apa mencetak siswa dengan kemampuan menjawab soal sebanyak-banyaknya? Toh sekarang segala sesuatu bisa kita cari tahu dengan satu “klik”.
Lantas bagaimana yang lebih baik? Ya, mencetak siswa yang tahu bagaimana cara pintar. Itu baru oke. Menurut saya, Memberikan banyak stimulan cara menyelesaikan masalah (problem solving) dalam realitas kehidupan siswa itu jauh lebih baik daripada membekali siswa dengan banyak pengetahuan. Memberikan banyak stimulan untuk menghasilkan karya (make a product) jauh lebih baik daripada membekali siswa dengan soal-soal pekerjaan rumah (PR)
Memantik siswa untuk terus menjadi pembelajar seumur hidup merupakan hal yang tidak mudah. Namun harus terus diusahakan. Dan inilah yang menjadi cita-cita saya bersama teman-teman pembelajar.
Lantas bagaimana yang lebih baik? Ya, mencetak siswa yang tahu bagaimana cara pintar. Itu baru oke. Menurut saya, Memberikan banyak stimulan cara menyelesaikan masalah (problem solving) dalam realitas kehidupan siswa itu jauh lebih baik daripada membekali siswa dengan banyak pengetahuan. Memberikan banyak stimulan untuk menghasilkan karya (make a product) jauh lebih baik daripada membekali siswa dengan soal-soal pekerjaan rumah (PR)
Memantik siswa untuk terus menjadi pembelajar seumur hidup merupakan hal yang tidak mudah. Namun harus terus diusahakan. Dan inilah yang menjadi cita-cita saya bersama teman-teman pembelajar.
Mendekatkan siswa dengan “realita kehidupan”
Ketua Yayasan di sekolah saya yang seorang juragan konveksi pakaian jadi sering mengeluh pada saya bahwa beliau sulit mencari pekerja sebagai penjahit profesional di kampung kami. Padahal sepuluh sampai lima belas tahun yang lalu kampung kami terkenal dengan banyaknya penjahit profesional. Kemana mereka sekarang? Setelah saya amati, sebagian besar dari mereka sekarang telah udzur karena usia. Namun tidak ada lagi putra-putri mereka yang menggantikan profesi orangtuanya. Ya, Tidak terjadi regenerasi penjahit profesional di kampung kami.
Memang banyak faktor yang menyebabkan hal itu terjadi. Namun saya akan memandang hal ini dari kacamata dunia pendidikan. Menurut saya, hal ini terjadi karena tercerabutnya kurikulum sekolah dari realitas kehidupan.
Diakui atau tidak banyak anak petani yang tidak mempunyai kemampuan menggarap sawah. Tidak sedikit anak nelayan yang tidak cukup ilmu untuk melaut. Tak terhitung anak-anak pengrajin batik tulis, penenun, perajin emas, dan profesi lain yang tidak lagi dapat meneruskan profesi orangtuanya.
Kalau boleh saya berpendapat, sekian persen hal ini terjadi karena ada sesuatu yang salah di sekolah kita. Pertama, Sekolah kita tidak mengajarkan sesuatu yang menjadi kebutuhan siswanya untuk melangsungkan kehidupan dimana mereka tinggal. Sekolah kita mengajarkan ilmu yang seragam di seluruh penjuru tanah air yang bermacam budaya dan kebiasaan yang beragam.
Kedua, siswa dan bahkan mahasiswa kita sebagian besar “ijazah minded” bukan “skill minded”. Yang ada pada pikiran siswa dan bahkan mahasiswa kita adalah bagaimana cara menaklukkan soal ujian dan mendapatkan nilai sebanyak mungkin mengalahkan teman yang lain sehingga mendapat rangking pertama di kelasnya dan lulus dengan ijazah memuaskan. Pada akhirnya mereka berfikir bagaimana caranya untuk menggunakan ijazah yang susah payah mereka dapatkan tersebut dalam “kehidupan lain” jauh dari realita kehidupan di lingkungannya yang sama sekali tidak menuntut ijazah, tapi skill dan kemampuan.
Ketiga, sekolah terlalu banyak menuntut penguasaan kognitif di berbagai macam disiplin ilmu. Mengetahui ini dan itu, memahami ini dan itu. Bahkan sampai-sampai pekerjaan sekolahpun harus dikerjakan di rumah dan diberinama “Pekerjaan Rumah” (PR). Sehingga habis waktu siswa kita untuk kegiatan sekolah. Belum lagi ekstakurikuler, jam tambahan dan les privat. Mereka tidak ada lagi waktu untuk bersosialisasi dengan lingkungan yang di dalamnya terdapat “realitas kehidupan”. Bahkan dengan orangtuanya sendiri. Lantas darimana mereka belajar tentang realitas kehidupan dirinya yang sesungguhnya?
Saya tidak sanggup membayangkan bagaimana putra dan putri bangsa ini harus tercerabut dari realitas kehidupannya yang menyediakan limpahan sumber daya alam, lingkungan, budaya dan kearifan lokal yang butuh mereka sentuh dan kembangkan. Mereka terpaksa lebih memilih “kehidupan lain” karena tidak dibekali dengan kemampuan untuk menghadapi itu semua.
Saya lebih suka membayangkan bagaimana putra-putri bangsa ini memenuhi panggilan dan tantangan realitas kehidupannya dan mengolah limpahan sumber daya alam, lingkungan dan budaya untuk memajukan dan mensejahterakan desanya masing-masing dengan menjunjung tinggi kearifan lokal tanpa mengesampingkan tantangan global.
Bila semua desa di Indonesia maju. Maka tidak ada alasan untuk menyebut Indonesia negara yang maju.
Maka harus ada perubahan pada diri dan lingkungan saya untuk mendekatkan siswa kepada “realitas kehidupan” mereka.
Merubah pola belajar “konsumsi” menjadi belajar “produksi”
Saya sering bertanya pada siswa saya “apakah ada yang mau bertanya?” semuanya diam. Saya dengan sangat pede menyimpulkan bahwa siswa saya semuanya sudah memahami apa yang saya sampaikan seluruhnya. Sayapun menutup pelajaran dan pergi meninggalkan kelas. Demikian seterusnya.
Pernah suatu saat saya bertanya kepada siswa kelas 6 yang telah melaksanakan Ujian Nasional. “Pada acara perpisahan nanti kalian mau ngisi acara apa?” sontak beberapa dari mereka menggaruk-garuk kepalanya walau saya yakin kepala mereka tidak gatal. Sebagian lain saling memandang dan berbagi senyum sambil menunduk entah apa maknannya.
Pertanyaan saya lanjutkan kepada salah seorang siswa, sebut saja Adin anak paling pintar dikelasnya “Kamu mau menampilkan puisi, menyanyi atau apa?” dia kaget dan spontan bilang “Apa ya?” sambil memandang saya seakan di wajah saya akan muncul sebuah jawabannya untuk dirinya. Sampai akhirnya tak ada keputusan yang diambil sama seperti tahun-tahun sebelumnya.
Saya baru tahu sekarang, kejadian-kejadian diatas bukanlah salah mereka. Namun ini adalah kesalahan saya yang selalu memberikan materi pelajaran layaknya gelas kosong dan saya tekonya. Mereka terbiasa “mengkonsumsi” materi pelajaran sebagai berita harian yang saya tuang kedalam otak mereka. Begitu terus-menerus, berhari-hari berbulan-bulan dan bertahun-tahun. Hingga pada akhirnya ketika mereka harus “memproduksi” ide tiba-tiba saja otak mereka menjadi blank. Dan ketika mereka harus memutuskan sebuah pilihan tiba-tiba otak mereka hank. Bahkan untuk seorang Adin juara kelas dan rangking 1selama 6 tahun yang selalu menjawab dengan cepat pertanyaan-pertanyaan mengenai materi pelajaran di sekolah.
Bahkan hal itu terjadi pada diri saya. Saya pusing tujuh keliling ketika diminta menggambarkan imajinasi Alien (makhluq luar angkasa) yang tidak boleh menyerupai manusia, hewan atau tumbuhan. Sama puyeng-nya ketika saya diminta untuk menggambarkan sebuah bunga yang sama sekali belum pernah saya lihat sebelumnya. Blank dan hank. Apa yang sebenarnya terjadi?
Kita terbiasa melakukan pola belajar konsumsi bukan produksi. Pak Bahrudin (Pemprakarsa Komunitas Belajar Qoryah Thoyibah Salatiga) mengkiaskan pendidikan kita seperti “kuis tebak lagu” yang memberikan gelar juara kepada mereka yang paling banyak menebak lagu mulai dari nada, lirik, penyanyi, pencipta bahkan tahun hits-nya. Pertanyaannya apakah ada jaminan Sang juara kuis tebak lagu dapat mengeluarkan ide untuk menciptakan lagu? Menulis lirik? Atau menyanyikan lagu dengan baik dan benar sehingga enak didengar?
Saya sering sekali menjejali para siswa dengan “ribuan lagu” agar siswa saya dapat juara, membanggakan orangtua dan mengharumkan nama sekolah karena siswa saya menang dalam kius tebak lagu yang biasa saya sebut “UJIAN KOGNITIF”. Namun setelah itu ribuan lagu itu tinggal sedikit bahkan hilang sama sekali. Dan tanpa sebait lagupun tercipta dari otak siswa saya.
Haloo....??? Pendidikan bukanlah kuis tebak lagu yang bertujuan menghibur atau sekedar seru-seruan. Lalu siapakah sebenarnya yang pantas kita anggap juara? Menurut saya sang juara sejati adalah mereka yang dapat mengeluarkan ide menciptakan lagu, menulis lirik dan penyanyi. Merekalah yang mampu “memproduksi” sebuah karya.
Bayangkan bila saya dan siswa saya tidak disibukkan untuk kegiatan “konsumsi” , namun membiasakan diri untuk mem-“produksi” gagasan, ide atau imajinasi mungkin saya dan siswa saya sudah banyak memproduksi karya-karya bermanfaat atau setidaknya tidak lagi pusing ketika harus mencari solusi untuk berbagai macam masalah dan tantangan masa depan.
Menurut saya, harus ada perubahan pola belajar pada diri dan lingkungan saya. Dari konsumsi menjadi produksi.
Sekolahnya Manusia
“Jika mengajar dan apa yang diajar kepada siswa sama dengan yang kemarin maka kita akan merampas masa depannya” (John Dewey)
Ciri-ciri sekolahnya robot adalah sekolah yang merampas masa depan siswanya dengan melakukan pembelajaran yang monoton dan dibenci oleh siswanya. Guru yang selalu menekankan pada nilai kognitif dipadu dengan teacher talking time (terj. Guru ceramah deui) dan aktifitas kelas yang membosankan sehingga memunculkan demotivasi (baca: kemalasan) belajar dan bersekolah.
Teaching style yang bertolak belakang dengan Learning style. Anak wajib duduk yang manis mendengarkan “pelajaran” (baca : ceramah) dari guru salama berjam-jam karena bila tidak siswa dikhawatirkan tidak akan bisa mengerjakan tes / ulangan dengan hasil sesuai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal / Nilai Minimal). Akhirnya dengan terkantuk-kantuk siswa seakan-akan mendengarkan dan menyimak arahan guru sambil sebentar-sebentar melihat jam yang seakan lambat berjalan.
Sekolah model robot seperti diatas sudah waktunya merubah dirinya menjadi sekolahnya manusia yang memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
Pertama, Pendidikan di dalamnya mengintegrasi Jasmani dan Ruhani, Agama dan umum yang seimbang. Namun pendidikan agama sekaligus pendidikan karakter yang aplikatif bukan kognitif semata.
Kedua, Sekolah berperan sebagai Agent of Change. Dapat merubah apapun kondisi siswa yang negatif menjadi positif. Tidak menolak siswa dengan alasan tidak mampu mengerjakan tes masuk, yang berarti sekolah hanya menerima siswa dengan pengetahuan kognitif tinggi. Lalu apa fungsi sekolah bila bila hanya menerima anak “pintar”?
Ketiga, Sekolah memiliki The Best Process dalam aktivitas kelas. Dengan memperhatikan Multiple Intelligences dan modalitas siswa guru merumuskan strategi belajar yang menyenangkan dan bervariasi.
Keempat, Sekolah memiliki the best teachers. Guru menjadi katalisator dan fasilitator yang inspiratif. Bukan mengajari yang teacher center guru serba bisa dan pasti benar namun student center yang disitu guru juga belajar bersama siswa menemukan cara untuk menyelesaikan masalah secara kolaborasi maupun koorporasi. Guru terhindar dari disteachia, penyakit dengan virus 4 T yang mudah menular pada guru yaitu Teacher Talking Time (Ceramah deui), Task Analisis (tidak dibutuhkan), Tracking (perangkingan) dan Text book (buku cetak dan LKS jadi kitab suci).
Kelima, Active Learning. Siswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk bergerak, mengekspresikan imajinasi, mengemukakan pendapat, memberikan usul dan memilih gaya belajar yang paling nyaman menurut siswa. Dan bukan menjadikan ruang kelas menjadi penjara yang siswanya harus duduk diam tidak boleh bicara dan bergerak. Sehingga terkesan menyeramkan.
Keenam, Applied Learning, sekolah mengaitkan materi belajar dengan kehidupan sehari-hari, sehingga siswa tidak hanya belajar konsep abstrak tapi juga pembelajaran langsung diaplikasikan pada kehidupan sehari-hari.
Ketujuh, menggunakan Multiple Intelligences Research (MIR) sebagai pijakan pemantik kreativitas anak tentang kebiasaan yang perlu dikembangkan dan mempercepat anak menemukan kondisi akhir terbaik bagi dirinya. Bagi Guru MIR juga dapat dijadikan pijakan dalam pembuatan lesson plan (rencana pembelajaran).
Kedelapan, Penilaian otentik diterapkan dalam setiap pengambilan nilai evaluasi hasil belajar. Ciri penilaian otentik adalah :
- Soal berkualitas dan bisa dikerjakan siswa,
- Sifatnya Ability Test bukan Disability Test,
- Penilaian dapat digunakan untuk Discovering Ability,
- Kemampuan anak dinilai berdasar perkembangannya dari waktu ke waktu, dan tidak membandingkannya dengan siswa lain, jadi tidak ada sistem ranking,
- Penilaian berbasis proses, bukan pada akhir pembelajaran dengan menggunakan kriteria penilaian dengan pembobotan yang diketahui oleh siswa.
Minggu, 10 Maret 2013
Multiple Intelligences
Tahun 1904 Alfred Binet dkk menciptakan tes IQ pertama
kali dan memberikan opini kepada masyarakat bahwa kecerdasan itu dapat diukur
secara obyektif dan dinyatakan dalam satu angka yaitu nilai IQ.
Pada tahun 1983, Howard Gardner seorang psikolog dari
Harvard University mempersoalkan tentang makna ”kecerdasan” dan kevalidan tes
IQ.
Kritik Gardner tentang tes IQ adalah sebagai berikut :
- Potensi kecerdasan manusia yang dinilai melalui tes IQ terlalu sempit, test IQ tidak mampu untuk menafsirkan kecerdasan sesuai dengan perkembangan kebudayaan.
- Kecerdasan bukan didapat dari keturunan (euginics), atau keunggulan budaya atau ras.
- Kecerdasan tersebut dapat berkembang, tidak bersifat tetap dalam bentuk nilai konstan.
- Test IQ merupakan sebuah test achievement, yang cenderung untuk mengetahui ketidakmampuan seorang anak. Padahal kecerdasan anak adalah sesuatu yang dapat diketahui dengan penglihatan anak tersebut.
- Test IQ, test SAT (Scholatic Aptitude Test), test WRAT (Wide Range Achievement Test) dan test Achievement lainnya merupakan jenis test tertutup, test tradisional dan masih belum mampu melihat kecerdasan seseorang.
- Kecerdasan seseorang tidak dapat dinilai dari test, yaitu sebagai tindakan yang sebelumnya tidak pernah dilakukan atau tidak akan pernah dilakukan lagi.
- Kecerdasan lebih berkaitan dengan kebiasaan yang mempunyai kemampuan terhadap dua hal, yaitu (1) memecahkan masalah dan (2) menciptakan produk-produk baru bernilai budaya.
POIN-POIN KUNCI MULTIPLE INTELLIGENCE
- Setiap orang mempunyai 8 kecerdasan atau lebih.
- Pada umumnya orang dapat mengembangkan setiap kecerdasan sampai pada tingkat penguasaan yang memadai.
- Kecerdasan-kecerdasan umumnya bekerja bersamaan dengan cara yang kompleks, tidak berdiri sendiri-sendiri.
- Ada banyak cara untuk menjadi cerdas dalam setiap kategori.
8 KECERDASAN MENURUT HOWARD GARDNER
1. Kecerdasan Spasial Visual
- Komponen inti : kepekaan merasakan dan membayangkan dunia gambar dan ruang secara akurat
- Berkaitan dengan kemampuan menggambar, memotret, membuat patung, dan mendesain.
- Kondisi akhir terbaik menjadi seniman, arsitek, ahli, strategi, pecatur, desainer, sutradara, fotografer, montir profesional.
2. Kecerdasan Linguistik
- Komponen inti : kepekaan terhadap bunyi, struktur, makna, fungsi kata dan bahasa.
- Berkaitan dengan kemampuan membaca, menulis, berdiskusi, berargumentasi, dan berdebat.
- Kondisi akhir terbaik menjadi seorang penulis, wartawan, orator, ahli politik, penyiar radio, presenter, guru, dan pengacara.
3. Kecerdasan Interpersonal
- Komponen inti : kepekaan mencerna dan merespon secara tepat suasana hati, temperamen, motivasi, dan keinginan orang lain.
- Berkaitan dengan kemampuan bergaul dengan orang lain, memimpin, kepekaan sosial yang tinggi negosiasi,bekerja sama, mempunyai empati yang tinggi.
- Kondisi akhir terbaik menjadi konselor, politikus, pemimpin, inovator.
4. Kecerdasan Musikal
- Komponen inti : kepekaan dan kemampuan menciptakan dan mengapresiasikan irama, pola titik nada dan warna nada serta apresiasi untuk bentuk ekspresi emosi musikal.
- Berkaitan dengan kemampuan menciptakan lagu, mendengar nada dari sumber bunyi atau alat-alat musik.
- Kondisi akhir menjadi komposer, penyanyi, pemain musik, pencipta lagu.
5. Kecerdasan Naturalis
- Komponen inti : keahlian membedakan anggota-anggota spesies, mengenali eksistensi spesies lain, dan memetakan hubungan antara beberapa spesies baik secara formal maupun non formal.
- Berkaitan dengan kemampuan meneliti gejala-gejala alam, mengklasifikasi, identisifikasi.
- Kondisi akhir terbaik : peneliti alam, ahli biologi, dokter hewan, aktivis binatang dan lingkungan.
6. Kecerdasan Kinestetis
- Komponen inti : kemampuan mengontrol gerak tubuh dan kemahiran mengolah objek, respon dan reflek.
- Berkaitan dengan kemampuan gerak motorik keseimbangan.
- Kondisi akhir terbaik menjadi olahragawan, penari, pematung, aktor, dokter bedah.
7. Kecerdasan Intrapersonal
- Komponen inti : memahami perasaan sendiri dan kemampuan membedakan emosi, pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan diri.
- Berkaitan dengan kemampuan mengenali diri sendiri secara mendalam, kemampuan intuitif dan motivasi diri, penyendiri, sensitif terhadap nilai diri dan tujuan hidup.
- Kondisi akhir terbaik menjadi psikoterapis, pemimpin agama, penasehat, filosof.
8. Kecerdasan Logis Matematis
- Komponen inti : kepekaan pada memahami pola-pola logis atau numeris, dan kemampuan mengolah alur pemikiran yang panjang.
- Berkaitan dengan kemampuan berhitung, menalar, dan berfikir logis, memecahkan masalah.
- Kondisi akhir menjadi ilmuwan, ahli matematika, ahli fisika, pengacara, psikiater, psikolog, akuntan, dan programmer.
Langganan:
Postingan (Atom)