Rabu, 10 April 2013

Ujian Nasional : Antara Evaluasi dan Gengsi


Beberapa tahun yang lalu saya "menggenjot" murid saya dengan sangat ketat agar siap menghadapi Ujian Nasional. Mulai dari jam tambahan mata pelajaran Ujian Nasional, latihan mengerjakan soal (Try Out UN) berkali-kali, memberikan tips dan trik mengerjakan soal dengan cara cepat, mudah dan benar, kunjungan ke rumah murid, mengikuti bedah kisi-kisi berulang-ulang, Bimbingan Teknis guru mata pelajaran Ujian Nasional, sampai do'a bersama menjelang Ujian Nasional.

Dan itu dilakukan oleh seluruh sekolah-sekolah lain pada umumnya. Tujuannya mungkin sama, ingin mengantarkan murid-muridnya lulus dan mencapai nilai yang maksimal. Tak perlu saya pungkiri semua itu juga dilakukan karena ada ketakutan bila sekolah saya menduduki peringkat bawah dalam perangkingan Ujian Nasional baik tingkat Kecamatan maupun Kabupaten oleh pihak berwenang. Saya yakin ini juga dirasakan oleh guru di sekolah manapun.

Buktinya, saat yang paling mendebarkan bagi saya adalah saat pengumuman dan pembagian nilai Ujian Nasional. Dan yang menjadi perhatian penting saya dan guru pada umumnya adalah kelulusan murid dan peringkat sekolah.

Satu kata, gengsi. Itu yang saya rasakan. Bila mau jujur, banyak guru yang "memaksa" anak didiknya untuk melakukan ini dan itu dalam rangka "mensukseskan gengsi" gurunya. Dan kepala sekolah "menekan" wali kelas VI atau guru mata pelajaran Ujian Nasional untuk "bekerja" lebih giat guna "mendongkrak" peringkat sekolahnya. Bahkan pihak-pihak terkait juga melakukan hal yang sama untuk mengejar "prestasi semu" perangkingan Ujian Nasional antar kecamatan, antar kabupaten dah bahkan antar provinsi.

Anggapan saya waktu itu sangat sederhana. Ya, dengan peringkat Ujian Nasional yang tinggi menandakan bahwa mutu pendidikan di sekolah, kecamatan, kabupaten bahkan provinsi saya akan tinggi pula. Benarkah demikian?.

Ternyata tidak. Perangkingan Ujian Nasional tidak serta merta dapat menghukumi mutu pendidikan (baca: pembelajaran) di sebuah sekolah, kecamatan, kabupaten atau di provinsi tertentu baik atau buruk. Belum lagi pelaksanaan Ujian Nasional yang jauh dari kata sempurna. Dan sampai saat ini belum ada yang berani menjamin bahwa anak didiknya benar-benar melaksanakan Ujian Nasional dengan jujur dan fear.

Bila Ujian Nasional adalah alat untuk menghukumi mutu pendidikan. Maka tak ada bedanya mutu sekolah dengan fasilitas lengkap dan sekolah dengan fasilitas pas-pasan karena hasil ujiannya tak jauh beda.


Menurut saya Ujian Nasional lebih tepatnya hanya sebuah alat evaluasi pendidikan yang seharusnya berfungsi untuk memetakan mutu pendidikan di setiap daerah. Untuk selanjutnya dilakukan tindak lanjut untuk program-program pembenahan dan perbaikan. Lebih jauh lagi bukan alat untuk menghukumi murid sebagai anak "bodoh" atau "pintar" dengan kata yang lebih halus "lulus" dan "tidak lulus". Apalagi untuk mengukur mutu pendidikan di sebuah sekolah atau daerah tertentu. hanya dengan indikator dari mata pelajaran tertentu, naif memang.

Bila kita terus terjerumus dalam "lingkaran gengsi" UN, akhirnya kita disibukkan dengan hal-hal yang berkaitan dengan Ujian Nasional, menyiapkan ini itu demi meraih prestasi semu. Melupakan fungsi UN yang sebenarnya adalah sebuah evaluasi. Layaknya evaluasi, tindak lanjutnya bukanlah kebanggaan atas sebuah prestasi, namun pembenahan dan perbaikan disana-sini.

Saya sepakat semua hal akan diakhiri dengan sebuah evaluasi, termasuk pendidikan. Namun menurut saya kurang tepat apabila fungsi evaluasi menjadi ajang beradu gengsi yang apalagi menghalalkan segala cara untuk mencapainya. Hanya karena kita masih menganggap hasil evaluasi adalah sebuah prestasi bukan bahan instrospeksi diri.

Semoga anggapan saya salah. Amin.

(hd)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar