Senin, 29 April 2013

UN dan Pendidikan Finlandia

BERBICARA pendidikan, kita akan dihadapkan pada karakternya sebagai katalis kemajuan sebuah bangsa. Contoh terdekatnya adalah Jepang. Pada 1945, dalam perang dunia kedua, Amerika dan sekutunya meluluhlantakkan Nagasaki dan Hiroshima yang notabene merupakan dua kota vital bagi Jepang. Pascakehancuran itu, hal pertama yang ditanyakan Sang Kaisar adalah, “Berapa jumlah guru yang tersisa?” Sang Kaisar paham, kejayaan dan kemajuan Jepang hanya bisa dikembalikan melalui jalur pendidikan. Praktis, hasilnya dapat kita lihat hari ini, Jepang menjadi salah satu kekuatan teknologi dan ekonomi dunia. Lain Jepang lain Malaysia, negeri yang dulu pernah menjadi murid dan berguru pada Indonesia, kini perlahan tapi pasti mulai jauh meninggalkan Indonesia, dan kuncinya sama: pendidikan.

Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana sebenarnya sistem pendidikan yang baik? Untuk menjawab hal itu kita bisa mengacu pada hasil survei Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Pada 2003, organisasi yang berpusat di Perancis itu merilis daftar negara dengan sistem pendidikan terbaik. Hasil riset yang menilai kemampuan membaca, matematika dan ilmu pengetahuan pada siswa usia 15 tahun ini menetapkan Finlandia sebagai peringkat pertama. Finlandia meraih nilai terbaik. Bahkan mengalahkan Amerika yang notabene penuh dengan institusi pendidikan bergengsi.

Keberhasilan sistem dan output pendidikan Finlandia didasari beberapa hal. Pertama, anak-anak Finlandia belum boleh sekolah sebelum berumur tujuh tahun. Hal ini dikarenakan sebelum usia tersebut masih waktunya anak-anak bermain dan mengasah kreativitas. Selain itu, hal tersebut juga untuk memastikan bahwa anak-anak sudah siap menerima pengajaran.

Kedua, selama enam tahun pertama pendidikannya, anak-anak Finlandia sama sekali tidak diukur atau dites kemampuannya.  Ketiga, hanya ada satu tes standar wajib di Finlandia, yang diambil ketika anak-anak berusia 16 tahun. Keempat, semua guru di Finlandia harus memiliki gelar master, yang sepenuhnya disubsidi.

Pemaparan di atas jelas menelanjangi kebobrokan ujian nasional (UN). Pertama, UN menyamaratakan kemampuan siswa dan berfokus pada aspek kognitif (pengetahuan intelektual). Sementara, harus disadari bahwa setiap siswa memiliki minat dan bakat yang berbeda.

Kedua, UN dilaksanakan dengan standar yang sama, sementara infrastruktur pendidikan di Indonesia sama sekali belum merata. Ketiga, sejak dini siswa Indonesia terus ditekan dengan berbagai jenis ujian dengan multi disiplin ilmu.

Bandingkan dengan Finlandia, mereka sama sekali tidak mengukur atau memberikan ujian kepada siswanya pada enam tahun pertama pendidikannya. Selain itu, hanya ada satu tes standar yang dilakukan pemerintah Finlandia yakni ketika siswa berusia 16 tahun, dengan catatan sudah meratanya infrastruktur dan suprastruktur pendidikan

Membandingkan berbagai kelemahan di atas dengan sistem pendidikan Finlandia, sudah seharusnya keberadaan UN dievalusi dengan lebih serius. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan tegas menggariskan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa… .” Pendidikan nasional tidak seharusnya hanya mengukur kemampuan intelektual manusia Indonesia tanpa melihat watak dan kepribadiannya. Karena nyatanya negeri ini sudah banyak memproduksi manusia pintar, tapi masih minim manusia cerdas berkarakter.


Oleh :


Denny Reza Kamarullah
Mahasiswa Jurusan Teknik Pertambangan
Institut Teknologi Bandung (ITB)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar