Sabtu, 30 Maret 2013

Out Bond Bareng Tamu-tamu Kecil


Kamis, 28 Maret 2013 pukul 08.30 WIB akhirnya tamu yang kami nanti datang. Ya, tamu-tamu kecil saya dari TK Muslimat NU Prawasan Kedungwuni Kab. Pekalongan. wajah mereka tampak sumpringah ketika kami sambut dengan ucapan salam.

Kedatangan tamu kecil kami bersama ibu-ibu guru dan orangtua mereka adalah untuk melihat langsung proses pembelajaran di MI Kranji 01 yang baru. Dengan begitu orangtua jadi tahu persis bagaimana MI Kranji 01 mengelola anak didiknya. "Ya, itu bagus. Agar orang tua tidak  membeli kucing dalam karung" kata Pak Hida Guru MI Kranji 01 yang ikut menyambut anak-anak cerdas dan juara ini.

Tamu kecil dari TK Muslimat NU Prawasan kami suguhi kegiatan Out Bond yang menyenangkan di arena Out Bond MI Kranji 01. Out Bond adalah kegiatan di luar ruangan yang diisi dengan permainan-permainan pembentuk karakter positif anak seperti kerjasama, menghargai, kekompakan, toleransi, tidak saling menyalahkan dan lain sebagainya.

Setelah tertawa lepas penuh keriangan, tamu kecil kami kami ajak mengobservasi sungai yang masih dalam lingkungan out bond MI Kranji 01. Kami melihat tatapan mereka layaknya kamera fotografer yang membidik objek bidikan dengan jutaan bidikan, namun bedanya memori kamera tidak lebih hebat dari memori mereka yang terhubung langsung dengan otak ciptaan Tuhan.

Puas mengobservasi sungai mereka bersama guru dan orangtuanya kami persilakan untuk melihat langsung proses pembalajaran para guru kami yang multi strategi. Pertanyaan demi pertanyaan muncul dari orangtua dan para guru TK tentang mata pelajaran yang diajarkan dan strategi yang dipakai.

Pukul 10.00 WIB tamu-tamu kecil kami mohon diri. Dengan souvenir senyuman mereka membawa pulang seribu kesan dan kenangan bermain bersama kami. Do'a kami panjatkan semoga kelak mereka menjadi orang yang sukses sesuai Multiple Intelligences dari sang Pencipta yang tertanam pada diri mereka. Amin. (hd)

Jumat, 22 Maret 2013

Melahirkan para pembelajar sejati

Dulu saya bangga dapat mencetak siswa pintar (ukurannya dapat menjawab soal sebanyak-banyaknya). Namun sekarang saya merasa bodoh dengan hal tersebut. Bagaimana tidak,  buat apa mencetak siswa dengan kemampuan menjawab soal sebanyak-banyaknya? Toh sekarang segala sesuatu bisa kita cari tahu dengan satu “klik”.

Lantas bagaimana yang lebih baik? Ya, mencetak siswa yang tahu bagaimana cara pintar. Itu baru oke. Menurut saya, Memberikan banyak stimulan cara menyelesaikan masalah (problem solving) dalam realitas kehidupan siswa itu jauh lebih baik daripada membekali siswa dengan banyak pengetahuan. Memberikan banyak stimulan untuk menghasilkan karya (make a product) jauh lebih baik daripada membekali siswa dengan soal-soal pekerjaan rumah (PR)

Memantik siswa untuk terus menjadi pembelajar seumur hidup merupakan hal yang tidak mudah. Namun harus terus diusahakan. Dan inilah yang menjadi cita-cita saya bersama teman-teman pembelajar.

Mendekatkan siswa dengan “realita kehidupan”


Ketua Yayasan di sekolah saya yang seorang juragan konveksi pakaian jadi sering mengeluh pada saya bahwa beliau sulit mencari pekerja sebagai penjahit profesional di kampung kami. Padahal  sepuluh sampai lima belas tahun yang lalu kampung kami terkenal dengan banyaknya penjahit profesional. Kemana mereka sekarang? Setelah saya amati, sebagian besar dari mereka sekarang telah udzur karena usia. Namun tidak ada lagi putra-putri mereka yang menggantikan profesi orangtuanya. Ya, Tidak terjadi regenerasi penjahit profesional di kampung kami.

Memang banyak faktor yang menyebabkan hal itu terjadi. Namun saya akan memandang hal ini dari kacamata dunia pendidikan. Menurut saya, hal ini terjadi karena tercerabutnya kurikulum sekolah dari realitas kehidupan.

Diakui atau tidak banyak anak petani yang tidak mempunyai kemampuan menggarap sawah. Tidak sedikit anak nelayan yang tidak cukup ilmu untuk melaut. Tak terhitung anak-anak pengrajin batik tulis, penenun, perajin emas, dan profesi lain yang  tidak lagi dapat meneruskan profesi orangtuanya.

Kalau boleh saya berpendapat, sekian persen hal ini terjadi karena ada sesuatu yang salah di sekolah kita. Pertama, Sekolah kita tidak mengajarkan sesuatu yang menjadi kebutuhan siswanya untuk melangsungkan kehidupan dimana mereka tinggal. Sekolah kita mengajarkan ilmu yang seragam di seluruh penjuru tanah air yang bermacam budaya dan kebiasaan yang beragam.

Kedua, siswa dan bahkan mahasiswa kita sebagian besar “ijazah minded” bukan “skill minded”. Yang ada pada pikiran siswa dan bahkan mahasiswa kita adalah bagaimana cara menaklukkan soal ujian dan mendapatkan nilai sebanyak mungkin mengalahkan teman yang lain sehingga mendapat rangking pertama di kelasnya dan lulus dengan ijazah memuaskan. Pada akhirnya mereka berfikir bagaimana caranya untuk  menggunakan ijazah yang susah payah mereka dapatkan tersebut dalam “kehidupan lain”  jauh dari realita kehidupan di lingkungannya yang sama sekali tidak menuntut ijazah, tapi skill dan kemampuan.

Ketiga, sekolah terlalu banyak menuntut penguasaan kognitif di berbagai macam disiplin ilmu. Mengetahui ini dan itu, memahami ini dan itu. Bahkan sampai-sampai pekerjaan sekolahpun harus dikerjakan di rumah dan diberinama “Pekerjaan Rumah” (PR). Sehingga habis waktu siswa kita untuk kegiatan sekolah. Belum lagi ekstakurikuler, jam tambahan dan les privat. Mereka tidak ada lagi waktu untuk bersosialisasi dengan lingkungan yang di dalamnya terdapat “realitas kehidupan”. Bahkan dengan orangtuanya sendiri. Lantas darimana mereka belajar tentang realitas kehidupan dirinya yang sesungguhnya?


Saya tidak sanggup membayangkan bagaimana putra dan putri bangsa ini harus tercerabut dari realitas kehidupannya yang menyediakan limpahan sumber daya alam, lingkungan,  budaya dan kearifan lokal yang butuh mereka sentuh dan kembangkan. Mereka terpaksa lebih memilih “kehidupan lain” karena tidak dibekali dengan kemampuan untuk menghadapi itu semua.

Saya lebih suka membayangkan bagaimana putra-putri bangsa ini memenuhi panggilan dan tantangan realitas kehidupannya dan mengolah limpahan sumber daya alam, lingkungan dan budaya untuk memajukan dan mensejahterakan desanya masing-masing dengan menjunjung tinggi kearifan lokal tanpa mengesampingkan tantangan global.

Bila semua desa di Indonesia maju. Maka tidak ada alasan untuk menyebut Indonesia negara yang maju.
Maka harus ada perubahan pada diri dan lingkungan saya untuk mendekatkan siswa kepada “realitas kehidupan” mereka.

Merubah pola belajar “konsumsi” menjadi belajar “produksi”


Saya sering bertanya pada siswa saya “apakah ada yang mau bertanya?” semuanya diam. Saya dengan sangat pede menyimpulkan bahwa siswa saya semuanya sudah memahami apa yang saya sampaikan seluruhnya. Sayapun menutup pelajaran dan pergi meninggalkan kelas. Demikian seterusnya.

Pernah suatu saat saya bertanya kepada siswa kelas 6 yang telah melaksanakan Ujian Nasional. “Pada acara perpisahan nanti kalian mau ngisi acara apa?” sontak beberapa dari mereka menggaruk-garuk kepalanya walau saya yakin kepala mereka tidak gatal. Sebagian lain saling memandang dan berbagi senyum sambil menunduk entah apa maknannya. 


Pertanyaan saya lanjutkan kepada salah seorang siswa, sebut saja Adin anak paling pintar dikelasnya “Kamu mau menampilkan puisi, menyanyi atau apa?” dia kaget dan spontan bilang “Apa ya?” sambil memandang saya seakan di wajah saya akan muncul sebuah jawabannya untuk dirinya. Sampai akhirnya tak ada keputusan yang diambil sama seperti tahun-tahun sebelumnya.
 

Saya baru tahu sekarang, kejadian-kejadian diatas bukanlah salah mereka. Namun ini adalah kesalahan saya yang selalu memberikan materi pelajaran layaknya gelas kosong dan saya tekonya. Mereka terbiasa “mengkonsumsi” materi pelajaran sebagai berita harian yang saya tuang kedalam otak mereka. Begitu terus-menerus, berhari-hari berbulan-bulan dan bertahun-tahun. Hingga pada akhirnya ketika mereka harus “memproduksi” ide tiba-tiba saja otak mereka menjadi blank. Dan ketika mereka harus memutuskan sebuah pilihan tiba-tiba otak mereka hank. Bahkan untuk seorang Adin juara kelas dan rangking 1selama 6 tahun yang selalu menjawab dengan cepat pertanyaan-pertanyaan mengenai materi pelajaran di sekolah.
 

Bahkan hal itu terjadi pada diri saya. Saya pusing tujuh keliling ketika diminta menggambarkan imajinasi Alien (makhluq luar angkasa) yang tidak boleh menyerupai manusia, hewan atau tumbuhan. Sama puyeng-nya ketika saya diminta untuk menggambarkan sebuah bunga yang sama sekali belum pernah saya lihat sebelumnya. Blank dan hank. Apa yang sebenarnya terjadi?
 

Kita terbiasa melakukan pola belajar konsumsi bukan produksi. Pak Bahrudin (Pemprakarsa Komunitas Belajar Qoryah Thoyibah Salatiga) mengkiaskan pendidikan kita seperti “kuis tebak lagu” yang memberikan gelar juara kepada mereka yang  paling  banyak menebak lagu mulai dari nada, lirik, penyanyi, pencipta bahkan tahun hits-nya. Pertanyaannya apakah ada jaminan Sang juara kuis tebak lagu dapat mengeluarkan ide untuk menciptakan lagu? Menulis lirik? Atau menyanyikan lagu dengan baik dan benar sehingga enak didengar?


Saya sering sekali menjejali para siswa dengan “ribuan lagu” agar siswa saya dapat juara, membanggakan orangtua dan mengharumkan nama sekolah karena siswa saya menang dalam kius tebak lagu yang biasa saya sebut “UJIAN KOGNITIF”. Namun setelah itu ribuan lagu itu tinggal sedikit bahkan hilang sama sekali. Dan tanpa sebait lagupun tercipta dari otak siswa saya.

Haloo....??? Pendidikan bukanlah kuis tebak lagu yang bertujuan menghibur atau sekedar seru-seruan. Lalu siapakah sebenarnya yang pantas kita anggap juara? Menurut saya sang juara sejati adalah mereka yang dapat mengeluarkan ide menciptakan lagu, menulis lirik dan penyanyi. Merekalah yang mampu “memproduksi” sebuah karya.

Bayangkan bila saya dan siswa saya tidak disibukkan untuk kegiatan “konsumsi” , namun membiasakan diri untuk mem-“produksi” gagasan, ide atau imajinasi mungkin saya dan siswa saya sudah banyak memproduksi karya-karya bermanfaat atau setidaknya tidak lagi pusing ketika harus mencari solusi untuk berbagai macam masalah dan tantangan masa depan.
 

Menurut saya, harus ada perubahan pola belajar pada diri dan lingkungan saya. Dari konsumsi menjadi produksi.

Sekolahnya Manusia


“Jika mengajar dan apa yang diajar kepada siswa sama dengan yang kemarin maka kita akan merampas masa depannya” (John Dewey)

Ciri-ciri sekolahnya robot adalah sekolah yang merampas masa depan siswanya dengan melakukan pembelajaran yang monoton dan dibenci oleh siswanya. Guru yang selalu menekankan pada nilai kognitif dipadu dengan teacher talking time (terj. Guru ceramah deui) dan aktifitas kelas yang membosankan sehingga memunculkan demotivasi (baca: kemalasan) belajar dan bersekolah.

Teaching style yang bertolak belakang dengan Learning style. Anak wajib duduk yang manis mendengarkan “pelajaran” (baca : ceramah) dari guru salama berjam-jam karena bila tidak siswa dikhawatirkan tidak akan bisa mengerjakan tes  / ulangan dengan hasil sesuai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal / Nilai Minimal). Akhirnya dengan terkantuk-kantuk siswa seakan-akan mendengarkan dan menyimak arahan guru sambil sebentar-sebentar melihat jam yang seakan lambat berjalan.

Sekolah model robot seperti diatas sudah waktunya merubah dirinya menjadi sekolahnya manusia yang memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

Pertama, Pendidikan di dalamnya mengintegrasi Jasmani dan Ruhani, Agama dan umum yang seimbang. Namun pendidikan agama sekaligus pendidikan karakter yang aplikatif  bukan kognitif semata.

Kedua, Sekolah berperan sebagai Agent of Change. Dapat merubah apapun kondisi siswa yang negatif menjadi positif. Tidak menolak siswa dengan alasan tidak mampu mengerjakan tes masuk, yang berarti sekolah hanya menerima siswa dengan pengetahuan kognitif tinggi. Lalu apa fungsi sekolah bila bila hanya menerima anak “pintar”?

Ketiga, Sekolah memiliki The Best Process dalam aktivitas kelas. Dengan memperhatikan Multiple Intelligences dan modalitas siswa guru merumuskan strategi belajar yang menyenangkan dan bervariasi.

Keempat, Sekolah memiliki the best teachers. Guru menjadi katalisator dan fasilitator yang inspiratif. Bukan mengajari yang teacher center guru serba bisa dan pasti benar namun student center yang disitu guru juga belajar bersama siswa menemukan cara untuk menyelesaikan masalah secara kolaborasi maupun koorporasi. Guru terhindar dari disteachia, penyakit dengan virus 4 T yang mudah menular pada guru yaitu Teacher Talking Time (Ceramah deui), Task Analisis (tidak dibutuhkan), Tracking (perangkingan) dan Text book (buku cetak dan LKS  jadi kitab suci).


Kelima, Active Learning. Siswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk bergerak, mengekspresikan imajinasi, mengemukakan pendapat, memberikan usul dan memilih gaya belajar yang paling nyaman menurut siswa. Dan bukan menjadikan ruang kelas menjadi penjara yang siswanya harus duduk diam tidak boleh bicara dan bergerak. Sehingga terkesan menyeramkan.

Keenam, Applied Learning, sekolah mengaitkan materi belajar dengan kehidupan sehari-hari, sehingga siswa tidak hanya belajar konsep abstrak tapi juga pembelajaran langsung diaplikasikan pada kehidupan sehari-hari.

Ketujuh, menggunakan Multiple Intelligences Research (MIR) sebagai pijakan pemantik kreativitas anak tentang kebiasaan yang perlu dikembangkan dan mempercepat anak menemukan kondisi akhir terbaik bagi dirinya. Bagi Guru MIR juga dapat dijadikan pijakan dalam pembuatan lesson plan (rencana pembelajaran).

Kedelapan, Penilaian otentik diterapkan dalam setiap pengambilan nilai evaluasi hasil belajar. Ciri penilaian otentik adalah :
  1. Soal berkualitas dan bisa dikerjakan siswa, 
  2. Sifatnya Ability Test bukan Disability Test, 
  3. Penilaian dapat digunakan untuk Discovering Ability, 
  4. Kemampuan anak dinilai berdasar perkembangannya dari waktu ke waktu, dan tidak membandingkannya dengan siswa lain, jadi tidak ada sistem ranking, 
  5. Penilaian berbasis proses, bukan pada akhir pembelajaran dengan menggunakan kriteria penilaian dengan pembobotan yang diketahui oleh siswa.
Memanusiakan manusia adalah sebuah keniscayaan untuk menjadikan manusia bermartabat.

Minggu, 10 Maret 2013

Multiple Intelligences


Tahun 1904 Alfred Binet dkk menciptakan tes IQ pertama kali dan memberikan opini kepada masyarakat bahwa kecerdasan itu dapat diukur secara obyektif dan dinyatakan dalam satu angka yaitu nilai IQ.
Pada tahun 1983, Howard Gardner seorang psikolog dari Harvard University mempersoalkan tentang makna ”kecerdasan” dan kevalidan tes IQ.
Kritik Gardner tentang tes IQ adalah sebagai berikut :
  • Potensi kecerdasan manusia yang dinilai melalui tes IQ terlalu sempit, test IQ tidak mampu untuk menafsirkan kecerdasan sesuai dengan perkembangan kebudayaan.
  • Kecerdasan bukan didapat dari keturunan (euginics), atau keunggulan budaya atau ras.
  • Kecerdasan tersebut dapat berkembang, tidak bersifat tetap dalam bentuk nilai konstan.
  • Test IQ merupakan sebuah test achievement, yang cenderung untuk mengetahui ketidakmampuan seorang anak. Padahal kecerdasan anak adalah sesuatu yang dapat diketahui dengan penglihatan anak tersebut.
  • Test IQ, test SAT (Scholatic Aptitude Test), test WRAT (Wide Range Achievement Test) dan test Achievement lainnya merupakan jenis test tertutup, test tradisional dan masih belum mampu melihat kecerdasan seseorang.
  • Kecerdasan seseorang tidak dapat dinilai dari test, yaitu sebagai tindakan yang sebelumnya tidak pernah dilakukan atau tidak akan pernah dilakukan lagi.
  • Kecerdasan lebih berkaitan dengan kebiasaan yang mempunyai kemampuan terhadap dua hal, yaitu (1) memecahkan masalah dan (2) menciptakan produk-produk baru bernilai budaya.
POIN-POIN KUNCI MULTIPLE INTELLIGENCE
  1. Setiap orang mempunyai 8 kecerdasan atau lebih.
  2. Pada umumnya orang dapat mengembangkan setiap kecerdasan sampai pada tingkat penguasaan yang memadai.
  3. Kecerdasan-kecerdasan umumnya bekerja bersamaan dengan cara yang kompleks, tidak berdiri sendiri-sendiri.
  4. Ada banyak cara untuk menjadi cerdas dalam setiap kategori.

8 KECERDASAN MENURUT HOWARD GARDNER

1. Kecerdasan Spasial Visual
  • Komponen inti : kepekaan merasakan dan membayangkan dunia gambar dan ruang secara akurat
  • Berkaitan dengan kemampuan menggambar, memotret, membuat patung, dan mendesain.
  • Kondisi akhir terbaik menjadi seniman, arsitek, ahli, strategi, pecatur, desainer, sutradara, fotografer, montir profesional.
2. Kecerdasan Linguistik
  • Komponen inti : kepekaan terhadap bunyi, struktur, makna, fungsi kata dan bahasa.
  • Berkaitan dengan kemampuan membaca, menulis, berdiskusi, berargumentasi, dan berdebat.
  • Kondisi akhir terbaik menjadi seorang penulis, wartawan, orator, ahli politik, penyiar radio, presenter, guru, dan pengacara.
3. Kecerdasan Interpersonal
  • Komponen inti : kepekaan mencerna dan merespon secara tepat suasana hati, temperamen, motivasi, dan keinginan orang lain.
  • Berkaitan dengan kemampuan bergaul dengan orang lain, memimpin, kepekaan sosial yang tinggi negosiasi,bekerja sama, mempunyai empati yang tinggi.
  • Kondisi akhir terbaik menjadi konselor, politikus, pemimpin, inovator.
4. Kecerdasan Musikal
  • Komponen inti : kepekaan dan kemampuan menciptakan dan mengapresiasikan irama, pola titik nada dan warna nada serta apresiasi untuk bentuk ekspresi emosi musikal.
  • Berkaitan dengan kemampuan menciptakan lagu, mendengar nada dari sumber bunyi atau alat-alat musik.
  • Kondisi akhir menjadi komposer, penyanyi, pemain musik, pencipta lagu.
5. Kecerdasan Naturalis
  • Komponen inti : keahlian membedakan anggota-anggota spesies, mengenali eksistensi spesies lain, dan memetakan hubungan antara beberapa spesies baik secara formal maupun non formal.
  • Berkaitan dengan kemampuan meneliti gejala-gejala alam, mengklasifikasi, identisifikasi.
  • Kondisi akhir terbaik : peneliti alam, ahli biologi, dokter hewan, aktivis binatang dan lingkungan.
6. Kecerdasan Kinestetis
  • Komponen inti : kemampuan mengontrol gerak tubuh dan kemahiran mengolah objek, respon dan reflek.
  • Berkaitan dengan kemampuan gerak motorik keseimbangan.
  • Kondisi akhir terbaik menjadi olahragawan, penari, pematung, aktor, dokter bedah.
7. Kecerdasan Intrapersonal
  • Komponen inti : memahami perasaan sendiri dan kemampuan membedakan emosi, pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan diri.
  • Berkaitan dengan kemampuan mengenali diri sendiri secara mendalam, kemampuan intuitif dan motivasi diri, penyendiri, sensitif terhadap nilai diri dan tujuan hidup.
  • Kondisi akhir terbaik menjadi psikoterapis, pemimpin agama, penasehat, filosof.
8. Kecerdasan Logis Matematis
  • Komponen inti : kepekaan pada memahami pola-pola logis atau numeris, dan kemampuan mengolah alur pemikiran yang panjang.
  • Berkaitan dengan kemampuan berhitung, menalar, dan berfikir logis, memecahkan masalah.
  • Kondisi akhir menjadi ilmuwan, ahli matematika, ahli fisika, pengacara, psikiater, psikolog, akuntan, dan programmer.

Kapasitas Otak Manusia



Bagaimana cara mengukur kapasitas otak kita masih dicari cara yang paling tepatnya. Salah satu cara ialah dengan memperkirakan jumlah neuron (sel otak) dalam otak kita.

Otak manusia memiliki sekitar 50 sampai 200 miliar neuron,
tiap satu neuron berhubungan dengan 100.000 neuron lainnya sehingga membentuk 100 trilyun sampai 10 bilyun jembatan sinapsis (penghubung antar satu neuron dengan neuron lain).
Setiap sinapsis mempunyai kemampuan menyimpan jenis informasi yang berbeda sampai jumlah tertentu, jika kita asumsikan kemampuannya mencapai 256 informasi yang berbeda dan tiap neuron mempunyai 10.000 sinapsis maka total kapasitas penyimpanan informasi dalam otak kita mencapai 500 sampai 1000 tera bytes.
Namun jika level penyimpanan informasi dalam otak kita terjadi pada tingkat molekular (molekul yang membentuk sel neuron) maka tingkat penyimpanannya akan jauh lebih besar, beberapa orang memperkirakan mencapai 3,6 x 10 pangkat 19 bytes.
Otak manusia apabila dioptimalkan dengan baik, maka jumlah neuronnya dapat mencapai 100 milyar. Namun apabila tidak ada pengulangan atau tanpa adanya proses belajar dan peningkatan pengetahuan yang berkala dan berkesinambungan, maka myelin akan hilang dan informasi yang ada dalam otak pun akan hilang, atau "otak membersihkan rumahnya" dan set-sel otak pun akan berkurang terus-menerus. Untuk itu otak harus tetap dijaga terus menerus untuk menambahkan dan mengaktifkan dendrit-dendritnya.

Memori otak manusia kerjanya mirip dengan memori komputer. Pada komputer, memorinya disebut RAM (Random Access Memory) berfungsi merekam, memelihara dan memanfaatkan informasi baru.

Pada manusia, fungsinya lebih luas lagi mencakup perbendaharaan kata, pengetahuan bahasa, semua informasi yang telah kita pelajari, pengalaman hidup pribadi, segala kemahiran yang telah dipelajari dari mulai berjalan, berbicara hingga prestasi musik dan olahraga.

Para ahli membagi memori otak manusia menjadi dua yaitu memori jangka pendek (short term memory) dan memori jangka panjang (long term memory).

Memori jangka pendek adalah memori yang cepat diingat, cepat lupa dan KAPASITASNYA TERBATAS.

Memori jangka panjang adalah memori yang lambat dilupakan dan KAPASITASNYA TIDAK TERBATAS.

Memori jangka panjang dibagi menjadi dua yaitu memori deklaratif (eksplisit) dan memori non deklaratif (implisit/prosedural).

Memori deklaratif/eksplisit adalah memori yang dimaksud seperti kebanyakan orang dengan memori. Memori deklaratif/eksplisit disimpan di dalam korteks serebral tepatnya di hipokampus.

Memori deklaratif/eksplisit dibagi lagi menjadi dua, yaitu memori episodik dan memori semantik.

Memori episodik adalah memori tentang pengalaman-pengalaman anda sendiri yang biasanya berhubungan dengan riwayat hidup. Memori semantik berisikan jumlah total pengetahuan yang anda miliki seperti perbendaharaan kata, pemahaman matematika dan segala fakta yang kita ketahui.

Memori non deklaratif/implisit/prosedural berisikan antara lain kemahiran, kategori, priming, hubungan dasar dan keterbiasaan (classical conditioning).