Jumat, 22 Maret 2013
Mendekatkan siswa dengan “realita kehidupan”
Ketua Yayasan di sekolah saya yang seorang juragan konveksi pakaian jadi sering mengeluh pada saya bahwa beliau sulit mencari pekerja sebagai penjahit profesional di kampung kami. Padahal sepuluh sampai lima belas tahun yang lalu kampung kami terkenal dengan banyaknya penjahit profesional. Kemana mereka sekarang? Setelah saya amati, sebagian besar dari mereka sekarang telah udzur karena usia. Namun tidak ada lagi putra-putri mereka yang menggantikan profesi orangtuanya. Ya, Tidak terjadi regenerasi penjahit profesional di kampung kami.
Memang banyak faktor yang menyebabkan hal itu terjadi. Namun saya akan memandang hal ini dari kacamata dunia pendidikan. Menurut saya, hal ini terjadi karena tercerabutnya kurikulum sekolah dari realitas kehidupan.
Diakui atau tidak banyak anak petani yang tidak mempunyai kemampuan menggarap sawah. Tidak sedikit anak nelayan yang tidak cukup ilmu untuk melaut. Tak terhitung anak-anak pengrajin batik tulis, penenun, perajin emas, dan profesi lain yang tidak lagi dapat meneruskan profesi orangtuanya.
Kalau boleh saya berpendapat, sekian persen hal ini terjadi karena ada sesuatu yang salah di sekolah kita. Pertama, Sekolah kita tidak mengajarkan sesuatu yang menjadi kebutuhan siswanya untuk melangsungkan kehidupan dimana mereka tinggal. Sekolah kita mengajarkan ilmu yang seragam di seluruh penjuru tanah air yang bermacam budaya dan kebiasaan yang beragam.
Kedua, siswa dan bahkan mahasiswa kita sebagian besar “ijazah minded” bukan “skill minded”. Yang ada pada pikiran siswa dan bahkan mahasiswa kita adalah bagaimana cara menaklukkan soal ujian dan mendapatkan nilai sebanyak mungkin mengalahkan teman yang lain sehingga mendapat rangking pertama di kelasnya dan lulus dengan ijazah memuaskan. Pada akhirnya mereka berfikir bagaimana caranya untuk menggunakan ijazah yang susah payah mereka dapatkan tersebut dalam “kehidupan lain” jauh dari realita kehidupan di lingkungannya yang sama sekali tidak menuntut ijazah, tapi skill dan kemampuan.
Ketiga, sekolah terlalu banyak menuntut penguasaan kognitif di berbagai macam disiplin ilmu. Mengetahui ini dan itu, memahami ini dan itu. Bahkan sampai-sampai pekerjaan sekolahpun harus dikerjakan di rumah dan diberinama “Pekerjaan Rumah” (PR). Sehingga habis waktu siswa kita untuk kegiatan sekolah. Belum lagi ekstakurikuler, jam tambahan dan les privat. Mereka tidak ada lagi waktu untuk bersosialisasi dengan lingkungan yang di dalamnya terdapat “realitas kehidupan”. Bahkan dengan orangtuanya sendiri. Lantas darimana mereka belajar tentang realitas kehidupan dirinya yang sesungguhnya?
Saya tidak sanggup membayangkan bagaimana putra dan putri bangsa ini harus tercerabut dari realitas kehidupannya yang menyediakan limpahan sumber daya alam, lingkungan, budaya dan kearifan lokal yang butuh mereka sentuh dan kembangkan. Mereka terpaksa lebih memilih “kehidupan lain” karena tidak dibekali dengan kemampuan untuk menghadapi itu semua.
Saya lebih suka membayangkan bagaimana putra-putri bangsa ini memenuhi panggilan dan tantangan realitas kehidupannya dan mengolah limpahan sumber daya alam, lingkungan dan budaya untuk memajukan dan mensejahterakan desanya masing-masing dengan menjunjung tinggi kearifan lokal tanpa mengesampingkan tantangan global.
Bila semua desa di Indonesia maju. Maka tidak ada alasan untuk menyebut Indonesia negara yang maju.
Maka harus ada perubahan pada diri dan lingkungan saya untuk mendekatkan siswa kepada “realitas kehidupan” mereka.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar