Jumat, 22 Maret 2013
Merubah pola belajar “konsumsi” menjadi belajar “produksi”
Saya sering bertanya pada siswa saya “apakah ada yang mau bertanya?” semuanya diam. Saya dengan sangat pede menyimpulkan bahwa siswa saya semuanya sudah memahami apa yang saya sampaikan seluruhnya. Sayapun menutup pelajaran dan pergi meninggalkan kelas. Demikian seterusnya.
Pernah suatu saat saya bertanya kepada siswa kelas 6 yang telah melaksanakan Ujian Nasional. “Pada acara perpisahan nanti kalian mau ngisi acara apa?” sontak beberapa dari mereka menggaruk-garuk kepalanya walau saya yakin kepala mereka tidak gatal. Sebagian lain saling memandang dan berbagi senyum sambil menunduk entah apa maknannya.
Pertanyaan saya lanjutkan kepada salah seorang siswa, sebut saja Adin anak paling pintar dikelasnya “Kamu mau menampilkan puisi, menyanyi atau apa?” dia kaget dan spontan bilang “Apa ya?” sambil memandang saya seakan di wajah saya akan muncul sebuah jawabannya untuk dirinya. Sampai akhirnya tak ada keputusan yang diambil sama seperti tahun-tahun sebelumnya.
Saya baru tahu sekarang, kejadian-kejadian diatas bukanlah salah mereka. Namun ini adalah kesalahan saya yang selalu memberikan materi pelajaran layaknya gelas kosong dan saya tekonya. Mereka terbiasa “mengkonsumsi” materi pelajaran sebagai berita harian yang saya tuang kedalam otak mereka. Begitu terus-menerus, berhari-hari berbulan-bulan dan bertahun-tahun. Hingga pada akhirnya ketika mereka harus “memproduksi” ide tiba-tiba saja otak mereka menjadi blank. Dan ketika mereka harus memutuskan sebuah pilihan tiba-tiba otak mereka hank. Bahkan untuk seorang Adin juara kelas dan rangking 1selama 6 tahun yang selalu menjawab dengan cepat pertanyaan-pertanyaan mengenai materi pelajaran di sekolah.
Bahkan hal itu terjadi pada diri saya. Saya pusing tujuh keliling ketika diminta menggambarkan imajinasi Alien (makhluq luar angkasa) yang tidak boleh menyerupai manusia, hewan atau tumbuhan. Sama puyeng-nya ketika saya diminta untuk menggambarkan sebuah bunga yang sama sekali belum pernah saya lihat sebelumnya. Blank dan hank. Apa yang sebenarnya terjadi?
Kita terbiasa melakukan pola belajar konsumsi bukan produksi. Pak Bahrudin (Pemprakarsa Komunitas Belajar Qoryah Thoyibah Salatiga) mengkiaskan pendidikan kita seperti “kuis tebak lagu” yang memberikan gelar juara kepada mereka yang paling banyak menebak lagu mulai dari nada, lirik, penyanyi, pencipta bahkan tahun hits-nya. Pertanyaannya apakah ada jaminan Sang juara kuis tebak lagu dapat mengeluarkan ide untuk menciptakan lagu? Menulis lirik? Atau menyanyikan lagu dengan baik dan benar sehingga enak didengar?
Saya sering sekali menjejali para siswa dengan “ribuan lagu” agar siswa saya dapat juara, membanggakan orangtua dan mengharumkan nama sekolah karena siswa saya menang dalam kius tebak lagu yang biasa saya sebut “UJIAN KOGNITIF”. Namun setelah itu ribuan lagu itu tinggal sedikit bahkan hilang sama sekali. Dan tanpa sebait lagupun tercipta dari otak siswa saya.
Haloo....??? Pendidikan bukanlah kuis tebak lagu yang bertujuan menghibur atau sekedar seru-seruan. Lalu siapakah sebenarnya yang pantas kita anggap juara? Menurut saya sang juara sejati adalah mereka yang dapat mengeluarkan ide menciptakan lagu, menulis lirik dan penyanyi. Merekalah yang mampu “memproduksi” sebuah karya.
Bayangkan bila saya dan siswa saya tidak disibukkan untuk kegiatan “konsumsi” , namun membiasakan diri untuk mem-“produksi” gagasan, ide atau imajinasi mungkin saya dan siswa saya sudah banyak memproduksi karya-karya bermanfaat atau setidaknya tidak lagi pusing ketika harus mencari solusi untuk berbagai macam masalah dan tantangan masa depan.
Menurut saya, harus ada perubahan pola belajar pada diri dan lingkungan saya. Dari konsumsi menjadi produksi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
super sekali pak hadi
BalasHapusmaturnuwun....
Hapus